be well,
Dwika
Lost in Digital Revolution
Oleh Meisia ChandraSuatu hari dalam suatu seminar yang diadakan Startup Lokal saya mendengar Daniel Surya (mantan Indonesia Chief Representative at Landor Associates—sekarang Chairman SEA, IDHOLLAND) mengaku dirinya ketinggalan, dalam revolusi digital ini. Awalnya saya mengira hanya saya yang merasa ketinggalan, ternyata banyak juga orang lain yang merasakannya.
Betapa tidak, perubahan terjadi dengan cepat, kita bagaikan masuk ke dalam daerah baru yang belum ada petanya.
Awalnya, digital hanya berarti IT, hanya beberapa orang pendiam di pojokan kantor yang mengerti apa itu website, bagaimana menggunakan email, mereka yang rajin mengakses detik.com yang pada waktu itu baru berdiri, mereka yang mengontrol penggunaan internet di seluruh kantor dari mesin mainframe mereka yang besar-besar dan disimpan di kamar-kamar sangat dingin yang hanya boleh dimasuki oleh mereka.
Namun hari-hari seperti itu kini telah menjadi sejarah. Digital kini telah bergerak jauh meninggalkan IT, digital sudah menjadi keseharian hampir setiap orang, singkatnya digital telah menjadi mainstream. Thanks to Facebook, dan Blackberry, dua penggerak utama yang telah mempercepat revolusi ini di Indonesia.
Awalnya, industri yang mula-mula mengalami dampak revolusi ini adalah industri advertising, marketing communication, media/publishing, dan musik. Namun dengan segera, dampak revolusi digital ini tidak akan pilih-pilih sasaran lagi, cepat atau lambat semua industri akan terkena juga dampaknya, meskipun yang paling keras tetaplah terjadi pada beberapa industri di atas tadi.
Mengapa demikian? Karena tanpa kita sadari, revolusi digital ini telah mengubah perilaku kita. Perubahan itu sedang terjadi terus-menerus hingga suatu hari kita menyadari betapa banyaknya yang telah berubah. Perilaku konsumen telah berubah, itulah sebabnya mengapa semua industri akan mengalami dampaknya juga, cepat atau lambat.
Revolusi digital telah mengubah perilaku kita sebagai konsumen, sebagai nasabah, sebagai klien, dan sebagai publik secara keseluruhan. Cara kita membaca dan mengakses informasi, cara kita berbelanja, cara kita berhubungan dengan pelayanan publik, dll, semuanya tidak sama lagi.
Suatu hari istilah-istilah yang digunakan untuk membedakan dunia digital akan terasa aneh/absurd. Istilah-istilah seperti dunia maya, e-commerce, e-marketing dan e-lainnya, karena suatu hari belanja online dan melakukan apa pun secara online akan menjadi hal yang biasa saja.
Kami yang bekerja di perusahaan digital menyaksikan langsung semua perubahan itu (sejak awalnya). Kami yang berdiri di poros perubahan itu merasakan betul dinamikanya. Dan segala hingar-bingar ini pun beresonansi ke dunia Sumber Daya Manusia (SDM).
Tidak gampang menjadi prajurit digital. Dari luar terlihat dunia digital yang gemerlap dan keren, namun sesungguhnya dunia digital tidak hanya soal glamor. Dunia digital menuntut para prajurit ini bekerja lebih keras, lebih smart, tidak jarang harus bekerja 24 jam, anytime anywhere, karena revolusi digital menuntut segalanya serba cepat.
Bisnis secara keseluruhan akan mengalami percepatan, seperti yang pernah ditulis oleh Bill Gates, Business at the speed of Thought. Dunia bisnis tidak bisa lagi meng-ignore perubahan ini.
Selain dituntut bekerja lebih keras, kompetensi yang harus mereka bangun pun berubah-ubah. Ketika di industri lain, pekerja yang sudah berpengalaman 10 tahun sudah menduduki posisi manajerial, di industri ini pengalaman 10 tahun mungkin tidak banyak gunanya, karena kompetensi yang dibutuhkan telah berubah.
Belum lagi kondisi pasar yang belum terlalu menganggap penting investasi di digital, hal ini menyebabkan kompetensi para prajurit digital ini kurang mendapatkan penghargaan yang pantas.
Maka yang terjadi di perusahaan-perusahaan digital, akan ada 2 golongan karyawan yang tidak betah. Golongan pertama adalah orang-orang lama yang struggling mempelajari kompetensi baru, dan tidak berhasil beradaptasi. Golongan kedua adalah orang-orang baru yang mengira digital is all about glamour. Setelah masuk, ternyata tidak semua orang cocok dengan dunia digital.
Tidak heran turn over yang tinggi menjadi hal yang tidak aneh lagi di perusahaan digital. Di sisi lain banyak yang merasa sulit mencari SDM dengan kompetensi yang cocok.
HRD pun bingung, belum sempat memetakan pola karir, industri telah berubah. Kecuali HRD adalah Tuhan yang sudah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, maka HRD tidak akan bisa membuat sebuah career path yang cukup efektif.
Akhirnya, ada satu hal yang membuat kita tetap berada di jalur ini, yaitu kecintaan kita pada dunia digital. Kecintaan kita pada perubahan, mempelajari hal-hal baru, dan selalu berada di baris depan dalam revolusi digital ini.
Anggaplah kita sebagai pengelana-pengelana pertama yang memasuki daerah baru, sukur-sukur suatu hari kita bisa membuat petanya, sehingga orang lain tidak perlu tersesat lagi.
No comments:
Post a Comment