be well,
Dwika
Value-Bukan Basa Basi
03:06 blocknotinspire
Semenjak 1994, ketika Jim Collins dan Jerry Porras mempublikasikan buku ‘Built to Last’, banyak CEO dan top manajemen merasa kurang ‘greget’-nya bila tidak menggambarkan “values” perusahaannya. Saat itulah para manajemen puncak mulai tergugah tentang efektifnya kekuatan “internal” yang ada di dalam diri individu pekerja . Bila “values’ perusahaan ikut dihayati karyawan secara tepat, perusahaan bisa menghasilkan “nilai lebih” dari pada sekedar uang, karena “core values” memberikan “sense of identity” ,kelanggengan dan “daya juang plus” perusahaan dalam menghadapi badai kompetisi ini. Tidak heran saat sekarang, hampir selalu , bila kita berkunjung ke ruang rapat di perusahaan perusahaan, terpampang poster dengan gambaran “values” perusahaan. Bila diperhatikan baik baik, sering terlihat kesamaan antara values yang digariskan satu perusahaan dengan yang lain.
Tidak hanya di Indonesia, namun data di majalah Fortune, menunjukan 55% dari 100 perusahaan terbaik versi Fortune menyatakan bahwa integritas adalah value utamanya, di samping rangking kedua: kepuasan pelanggan, dan yang ketiga: kerja tim. Pertanyaannya, bila semua perusahaan bernuansa ”values” yang sama, apa pula yang membuat mereka berbeda dari kompetitornya? Dengan kesamaan ini, apakah sosialisasi “values” yang mewabah ini masih akan menjadi “value adding” dalam bisnis? Salah seorang teman saya juga terkena wabah penyusunan “value statement”. Beliau serta merta mempekerjakan konsultan untuk menggambarkan values perusahaannya. Ketika saya tanyakan mengapa beliau tidak menggambarkannya sendiri, beliau berujar bahwa sesungguhnya ia sendiri tidak bisa mengidentifikasikan values perusahaannya. Ketika “values” sudah terdeskripsikan, beliau langsung menyetujui dan memujinya. “Nothing to loose” juga, bila tidak dijalankan, begitu komentarnya, seolah-olah sosialisasi values adalah program yang bisa jalan bisa tidak, dan tidak melekat dengan dirinya sebagai CEO dan si empunya perusahaan.
Menurut ”feeling” saya, bukan perusahaan ini saja yang memperlakukan values dengan cara seolah-olah ”values” sekedar hiasan organisasi. Ini tentunya tidak disengaja, tetapi upaya mengkaitkan dan menterjemahkan “values” ke dalam perangai dan perilaku sehari-hari setiap karyawan tidak mudah, apalagi kalau proses pengkaitannya tidak dihayati, ditekuni sendiri oleh tim manajemen .. Malahan , bila tidak hati hati bisa saja ternyata perilaku karyawan bertentangan dengan ”values” yang terlanjur dikumandangkan ke masyarakat. Mungkin kita masih ingat, skandal Enron, di mana ”annual report” tahun 2000-nya menuliskan “Communication, Respect, Integrity, Excellence”, sebagai ”core values”-nya, sementara kecurangan besar-besaran terjadi.
Values Bukan Impian atau Visi
Sebuah perusahaan yang saya kenal sangat dinamis, menempatkan ”continuous learning” sebagai salah satu ”core values”-nya. Ketika saya tanyakan pada pimpinannya, tentang apa contoh atau bentuk kebiasaan pembelajaran di perusahaan itu, dengan santai beliau berkata,” Belum jelas, itu kan aspirasi saya saja”. Meski kita sadar bahwa aspirasi memang positif, namun kesenjangan antara values yang mendasari perilaku saat ini dan aspirasi masa depan juga perlu diperhatikan dan di desain dengan cermat. Misalnya saja, di saat sekarang , perusahaan banyak beraspirasi untuk memiliki “value” yang sedang populer yakni ”work life balance”, apa jadinya bila value ini dicantumkan dalam value perusahaan sementara semua karyawannya sedang gila-gilanya bekerja keras penuh dedikasi, pulang malam bahkan bekerja di akhir minggu? Karenanya, pembentukan ”values” baru, benar-benar perlu disadari, ditekuni dan dirancang prosesnya, diperhitungkan dampak bisnisnya , sehingga semua individu dalam organisasi berupaya untuk mendukung jalannya perubahan.
Values adalah “Bagaimana Tampil Beda”
Kita, sebagai individu sering bingung bila ditanya tentang apa keunikan diri kita sebagai manusia dibandingkan dengan individu lain, terutama bila kita jarang berlatih untuk menerima feedback dan berkontemplasi mengenai kekurangan dan kelebihan kita. Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan. Values yang dikumandangkan semestinya memang menggambarkan “apa yang beda di perusahaan ini”, dan ”apa yang membuat perusahaan ini menonjol kesuksesannya”. Intel, perusahaan yang bermukin di Silicon Valley, menyatakan bahwa mereka adalah “manusia-manusia pengambil risiko dan gemar menyambut tantangan”. Hal ini memang dibuktikan dari cara atasan mempertanyakan ide bawahan, cara debat yang keras tanpa “hard feeling”. Inilah yang membuat Intel beda dari perusahaan Silicon Valley lainnya. Sekali kita bersama sama tampil beda secara positif, motivasi karyawan pun otomatis akan meningkat.
”Value Statement” bisa Jadi Pendorong sekaligus Bumerang
Pada perusahaan dengan”value statement” yang tajam dan tepat, karyawan akan lebih mudah menentukan sikap dan membuat keputusan. Dampaknya pasti terasa pada produktivitas. Tingkat keraguan dan kesalahan akan menurun, sementara kepuasan pelanggan pasti meningkat, karena karyawan meyakini dan tahu betul ”mengapa” mereka bekerja keras di lingkungan kerja bersama ini. Di sinilah ”value statements” tidak hanya menjadi pemersatu, bahkan bisa menjadi daya jual bagi perusahaan.
Di perusahaan yang tidak menguasai apa, bagaimana dan mengapa ”value statement” dibuat, banyak orang bersikap masa bodoh terhadap penyusunan dan sosialisasinya, karena beranggapan bahwa bila sosialisasi dan implementasinya tidak sesuai pun, perusahaan toh tidak akan menanggung kerugian. ”Paling-paling values itu meaningless”, demikian ungkap mereka. Ini sama sekali tidak benar, karena values yang disebut-sebut dan dislogankan akan ”mengganggu” individu yang melihat dan merasakan ketidakcocokannya. Values yang tidak tepat dan bahkan bertentangan dengan situasi riilnya, tidak sekedar tidak bergigi atau tidak jujur, tetapi bahkan sering dipandang dan disikapi individu secara sinis, sehingga dapat berakibat sikap yang kontra produktif, mendemotivasi dan akhirnya terbaca oleh pelanggan dan orang luar.
Pentingnya Mengumandangkan Values dengan Efektif
Mengumandangkan values memang perlu dicari efektivitasnya, karena seringkali bukan cukup dengan cara menulis slogan di dinding dinding,T-shirt dan Mug atau bahkan buku panduan ”do’s & don’ts” yang tebal. Nordstorm, perusahaan yang sudah banyak dibahas oleh para ahli manajemen karena berhasil dalam menggerakkan karyawannya melalui values, tidak pernah berhenti mengguncang para karyawannya melalui upaya-upaya seputar praktik nyata seperti membahas kasus-kasus sukses dan ”brutal facts” dari lapangan. Contoh klasik di lingkungan Nordstorm yang diceriterakan pada setiap orang yang direkrut adalah cerita seorang frontliner yang tanpa ragu-ragu melakukan penggantian klaim terhadap blus yang sudah dibeli pelanggan 2 tahun yang lalu untuk membuktikan ”value” ”customer satisfaction ” perusahaan. Nordstorm juga mempunyai kebiasaan untuk membacakan semua masukan pelanggan, baik atau buruk, melalui pengeras suara perusahaan sebelum toko buka, sehingga setiap karyawan sadar akan apa yang dipentingkan dalam mengambil sikap dan keputusan. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri)
(Ditayangkan di KOMPAS, 22 Maret 2008)
No comments:
Post a Comment