Sukses Adalah Mampu Memberikan Manfaat Bagi Orang Lain
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (QS. 21 : 107).
Jika perbuatan Anda selalu memberikan manfaat bagi orang lain berarti hidup Anda telah sukses. Semakin banyak manfaat yang Anda berikan kepada orang lain berarti semakin sukses Anda.
Sebaliknya, ketika Anda berbuat hanya untuk kepentingan diri sendiri berarti Anda telah gagal dalam hidup. Semakin banyak perbuatan yang Anda lakukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, bahkan orang lain merasa dirugikan atau merasakan keburukan dari perbuatan Anda, maka semakin gagal hidup Anda.
Banyamin Disraeli pernah berkata, “Kita dilahirkan untuk mencintai sesama. Itulah prinsip keberadaan kita di dunia ini dan tujuan satu-satunya." Mencintai sesama dalam arti memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi orang lain, seperti yang dikatakan Denis Diderot, “orang yang paling bahagia adalah mereka yang memberikan kebahagiaan terbesar kepada orang lain.” Atau seperti yang dikatakan Kahlil Gibran, “Anda hanya memberikan sedikit pada saat Anda memberikan apa yang menjadi milik Anda. Pada saat Anda memberikan diri Anda sepenuhnya barulah Anda benar-benar memberi.”
Arti Hidup : Memberikan Manfaat bagi Orang Lain
Pernahkan Anda merenungkan mengapa Anda ada di dunia ini? Pertanyaan ini mungkin membutuhkan jawaban filosofis yang njelimet, tapi singkatnya Anda ada di dunia ini untuk menjalankan misi menolong atau membantu orang lain. Anda ada di dunia ini untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain.
Itulah yang dapat Anda simpulkan dari pemikiran para filsuf dan orang-orang bijak. Juga dari apa yang dapat disimpulkan dari sabda para nabi. Seperti yang dikatakan Albert Schweitzer, “Tujuan hidup seseorang adalah untuk melayani, dan menunjukkan belas kasihan dan keinginan untuk menolong orang lain." Entertainer Danny Thomas pernah berkata, “Kita semua terlahir dengan satu tujuan, tetapi kita semua tidak menemukan apa tujuan itu. Kesuksesan dalam hidup tidak berlaku dengan apa yang Anda dapatkan dalam hidup itu atau yang Anda hasilkan bagi diri Anda sendiri. Kesuksesan adalah apa yang Anda lakukan untuk orang lain."
Sayyid Quthb di akhir hidupnya memberikan wejangan yang berharga untuk kita. Ia berkata, “Kebahagiaan yang sesungguhnya saya rasakan bukan terjadi ketika saya menerima sesuatu dari orang lain, tapi ketika saya memberikan sesuatu kepada orang lain.” Nabi Muhammad dengan tegas menyebutkan apa definisi orang baik, “Yang terbaik diantara kamu adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain."
Jika Anda renungkan tujuan hidup ini, Anda juga akan sampai pada kesimpulan serupa. Anda baru dapat dikatakan hidup dalam arti sebenarnya jika telah memberikan manfaat bagi orang lain. Cobalah Anda buktikan sendiri mana yang paling membahagiakan Anda: ketika Anda menerima atau ketika Anda memberi sesuatu kepada orang lain? Mungkin pada saat pertama, Anda merasa senang dan gembira jika ada orang memberikan sesuatu kepada Anda. Apalagi bila sesuatu itu Anda butuhkan atau Anda anggap tinggi nilainya.
Namun kegembiraan itu akan berkurang seiiring dengan berjalannya waktu. Bandingkan dengan ketika Anda memberikan sesuatu kepada orang lain secara rela dan semata-mata ingin menolongnya. Anda akan merasakan ketenteraman dan kebahagiaan dalam waktu yang lama. Anda merasa puas karena telah menjadi orang yang berguna bagi orang lain seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi, “Kebahagiaan tergantung pada apa yang Anda berikan, bukan pada apa yang Anda peroleh.” Perasaan inilah yang disebut dengan aktualisasi diri (self actualization). Suatu kebutuhan manusia yang menurut Abraham Maslow berada pada tingkat tertinggi. Kebutuhan untuk menunjukkan pada diri sendiri bahwa “Saya mampu menyumbangkan sesuatu bagi orang lain."
Aktualiasasi Diri : Kebutuhan Tertinggi Manusia
Pada saat kapan Anda merasa sangat sedih? Pasti Anda akan menjawab, “Saya merasa sangat sedih jika orang lain tidak peduli dengan saya. Apalagi jika orang itu adalah orang yang saya cintai”. Seorang alim pernah berkata, “Sakit hati yang paling besar datang dari orang yang paling kita cintai”. Perasaan sedih dan sakit hati muncul ketika Anda merasa tidak diperhatikan orang lain, terutama oleh orang-orang terdekat dan Anda kasihi. Ini adalah perasaan yang wajar karena pada saat itu harga diri Anda merasa terusik. Anda merasa dianggap tidak penting oleh orang lain. Anda merasa tidak berguna bagi orang lain. Eksistensi (keberadaan) Anda menjadi sia-sia di hadapan orang lain. Perasaan inilah yang menimbulkan kesedihan dan sakit hati yang mendalam.
Aktualisasi diri adalah lawan dari perasaan tidak berguna di hadapan orang lain. Aktualisasi diri adalah perasaan bahwa Anda telah berhasil mengembangkan potensi Anda sedemikian rupa sehingga Anda merasa bermanfaat bagi orang lain. Seperti yang pernah dikatakan Victor Hugo, “Kebahagiaan terbesar di dunia ialah merasa yakin kita dicintai orang lain."
Abraham Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan manusia bertingkat-tingkat. Dimulai dari kebutuhan fisik, keamanan, sosial, penghargaan dan yang paling tinggi kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Maslow, dalam perjalanan hidupnya manusia berusaha untuk mencapai kebutuhan yang tertinggi, yaitu aktualisasi diri. Pada saat kebutuhan ini terpenuhi manusia akan merasakan kepuasan dan kebahagiaan yang terbesar.
Ketika Anda merasa menjadi orang yang berguna bagi orang lain, Anda telah memenuhi kebutuhan aktualisasi diri tersebut. Semakin besar manfaat yang Anda berikan bagi orang lain, maka semakin besar kebutuhan aktualisasi diri Anda yang terpenuhi. Pada saat itu Anda akan merasakan kebahagiaan sesungguhnya. Anda telah menjadi orang yang sukses.
Jadi, sukses sejati terjadi ketika Anda telah berbuat sesuatu yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi orang lain. Sebaliknya, jika Anda melakukan perbuatan yang tidak bermanfaat bagi orang lain, bahkan merugikan banyak orang sehingga dianggap ‘musuh masyarakat’ oleh orang lain, berarti Anda gagal memperoleh sukses yang sesungguhnya. Walaupun pada saat itu Anda kaya, tenar atau memiliki jabatan yang tinggi.
Bahaya Mementingkan Diri Sendiri
Sikap yang selalu memberikan manfaat bagi orang lain akan sulit dibangun jika Anda masih berpikir dalam ‘ruang’ kepentingan diri sendiri. ‘Ruang’ ini dibangun oleh hawa nafsu yang mengental dalam diri seseorang. Hawa nafsu selalu mengajak diri untuk mementingkan kesenangan sesaat yang seringkali berwujud materi (sesuatu yang dapat dilihat atau dirasakan). Hawa nafsu tak pernah mampu menangkap hakikat atau hikmah dari suatu peristiwa. Ia terpaku pada pandangan sempit tentang peristiwa sebatas apa yang dapat ditangkap oleh panca indera. Itulah sebabnya ajaran agama atau nilai-nilai filsafat yang luhur selalu mengajarkan kita untuk melepaskan hegemoni hawa nafsu. Hal ini agar kita bisa ‘melihat’ dunia secara lebih jelas dan utuh.
Salah satu ‘pandangan’ yang akan terhalang akibat dominannya hawa nafsu adalah sulitnya seseorang memahami bahwa memberikan manfaat bagi orang lain berarti melepaskan diri dari kepentingan pribadi. Dengan kata lain, menjadi orang yang selalu berpikir dan berbuat untuk kepentingan orang lain. Menjadi orang yang selalu melayani orang lain. Dalam arti membantu, menolong, melindungi dan menghibur orang lain dalam batas-batas yang dibenarkan agama dan norma yang berlaku. Dan hal ini hanya bisa dilakukan jika seseorang berani membuang egonya untuk ‘melebur’ dengan kepentingan orang lain. Inilah yang disebut dengan empati.
Lagi pula mementingkan diri sendiri memiliki berbagai dampak yang berbahaya, antara lain :
1. Memiliki banyak musuh Orang yang mementingkan diri sendiri biasanya memiliki banyak musuh. Hal ini karena ia tak peduli dengan kepentingan orang lain. Ia malah sering memanfaatkan orang lain demi kepentingannya sendiri. Disadari atau tidak, ia sering menyakiti orang lain. Sebagian orang yang disakiti itu mungkin akan membalas perbuatannya yang egois. Namun sayangnya, orang yang egois seringkali tidak menyadari betapa banyak musuh-musuhnya. Ia baru menyadari ketika kesulitan datang kepadanya dan ternyata tak banyak orang yang mau membantunya.
2. Citra dirinya menjadi buruk Orang yang egois mempunyai citra buruk di masyarakat. Banyak orang yang tidak mau bergaul dengan mereka yang egois. Perlahan tapi pasti, orang yang egois akan terkucil dari pergaulan. Temannya hanya itu-itu saja. Padahal salah satu syarat untuk berhasil meraih apa yang diinginkan adalah memiliki pergaulan yang luas.
3. Sering merasa kecewa dan sakit hati terus menerus Orang yang mementingkan diri sendiri akan selalu gelisah dan sakit hati terus menerus. Hal ini karena ia merasa orang lain tidak memahami kepentingan dirinya. Ia menuntut agar orang lain memahami dirinya. Padahal ia sendiri tak mau memahami orang lain. Akhirnya, ia sering merasa kecewa ketika berinteraksi dengan orang lain. Orang lain dipandangnya sering menyakiti hatinya karena kepentingannya tak pernah dituruti. Dan ini makin membuat ia semakin egois karena merasa tak ada 'orang yang baik’ di dunia ini, yaitu orang yang mau memenuhi kepentingannya.
4. Menyesal di masa tua dan rugi di akhirat Seringkali orang yang egois tidak menyadari keegoisannya. Ia terlalu sibuk mengejar kenikmatan untuk dirinya sendiri, sehingga tak sempat mengevaluasi dirinya. Setelah nanti badannya semakin lemah, hartanya semakin berkurang, populeritasnya menurun atau jabatannya hilang, ia baru menyadarinya.
Orang-orang yang tadinya mengelilingnya karena mengharapkan harta, popularitas atau jabatanya satu persatu akan pergi menjauhinya. Biasanya hal ini terjadi ketika usianya telah lanjut, sehingga masa tuanya dihabiskan dalam kondisi terkucil. Hanya penyesalan yang akhirnya di dapat. Ia tak sempat lagi beramal untuk orang lain. Ia akan merugi di akhirat kelak karena waktunya habis untuk mementingkan diri sendiri, bukan yang seharusnya ia lakukan yaitu memberikan manfaat bagi orang lain.
|