be well,
Dwika
"Sedikit Bisa Cukup, Banyak Bisa Kurang"
by: Pitoyo Amrih
Sesekali saya coba manfaatkan waktu untuk sekedar ngobrol dengan siapa saja yang saya temui ketika kebetulan saya berada dalam situasi menunggu. Kadang menunggu anak saya yang sedang les musik, menunggu istri saya belanja, sambil menunggu mobil di tempat pencucian, menunggu antrian. Dan beberapa hari lalu saya berkesempatan untuk berbincang panjang dengan seorang bapak tukang parkir karena saya datang ke sebuah bank terlalu pagi.
Sesekali saya coba manfaatkan waktu untuk sekedar ngobrol dengan siapa saja yang saya temui ketika kebetulan saya berada dalam situasi menunggu. Kadang menunggu anak saya yang sedang les musik, menunggu istri saya belanja, sambil menunggu mobil di tempat pencucian, menunggu antrian. Dan beberapa hari lalu saya berkesempatan untuk berbincang panjang dengan seorang bapak tukang parkir karena saya datang ke sebuah bank terlalu pagi.
Beliau bukan seorang tukang parkir resmi. Hanya serabutan mengatur parkir mobil di pinggir jalan besar bila saja parkir di halaman bank itu atau kantor-kantor sebelahnya, sudah penuh oleh mobil. Atau bila seseorang tak mau repot memarkir mobil ke dalam halaman karena buru-buru sekedar masuk ATM, biasanya memilih parkir di luar di pinggir jalan. Demikianlah sang bapak tukang parkir bisa memberikan jasanya untuk mengatur dan menjaga mobil-mobil yang parkir di luar halaman.
Omong punya omong, sang tukang parkir ini menjelaskan bahwa rupanya dia tidak sendiri ‘menguasai’ lahan perparkiran itu. Dia hanya punya kesempatan mendapat ‘jatah’ menjadi tukang parkir di situ dua hari dalam seminggu. Dipotong setor sana setor sini, beliau sempat menjelaskan bahwa dalam seminggu kira-kira dia bisa mendapat penghasilan bersih untuk dibawa pulang sekitar duaratus sampai tigaratus ribu. Dan beliau punya seorang istri dan tiga orang anak, dimana yang sulung bisa berkesempatan sekolah sampai ke tingkat akademi. Mendengar apa yang dia sampaikan saya sempat tercenung.
Saya sempat berucap tanya keheranan, bagaimana beliau bisa mengatur keuangan tidak hanya cukup untuk menghidupi keluarganya, bahkan bisa mencukupi pendidikan anak-anaknya di tengah biaya pendidikan yang timpang. Sang bapak tukang parkir ini hanya tersenyum, dan menjawab dengan ekspresi syukur bahwa dia juga tidak tahu bagaimana bisa menjalani ini. Beliau hanya menjelaskan bahwa selama ini selalu merasa cukup. Dan bila kenyataannya kekurangan, maka biasanya dia mencari-cari waktu untuk kerja serabutan, dari menjadi pembantu tukang, membantu menjadi petugas pemungut sampah. Dan melihat rona wajahnya yang terlihat ringan dan selalu berkata dengan tersenyum lebar, sepertinya masalah keuangan tak pernah menjadi sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Imbalan yang beliau dapat mungkin sedikit, tapi dia merasa cukup. Kita harus belajar untuk bisa selalu bersyukur seperti yang terlihat dari bahasa tubuhnya.
Bisa jadi akan membuat hati kita miris, bila saja kita bandingkan potret sisi lain, yang dari pemberitaan kita dikejutkan oleh seorang pegawai menengah kantor pajak dengan gaji yang tidak bisa dibilang sedikit, masih memilih harus melakukan kecurangan-kecurangan sehingga bisa menumpuk kekayaan puluhan milyard rupiah. Dia sudah mendapatkan banyak dengan gajinya, tapi selalu saja merasa kurang sehingga perlu melakukan manipulasi pajak. Dia sudah mendapat banyak, tapi merasa kurang.
Sedikit bisa cukup, banyak bisa kurang. Sebuah kalimat bijak yang saya terjemahkan dari sebuah kearifan budaya Jawa. Dan nasehat ini akan bisa selalu mengingatkan kita bilasaja kita terlalu memandang kehidupan kita hanya sebuah kompetisi yang membawa kita pada mental kekurangan, bila kita tak segera mendapatkan sesuatu, maka sesuatu itu akan segera direbut orang. Sebuah mental yang terkadang bisa membuat kita lupa untuk bersyukur akan apa yang sudah kita raih.
Sejumlah rupiah misal lima juta, bagaimana pun juga tetaplah lima juta. Kita bisa melihatnya sebagai uang yang sedikit atau uang yang banyak, dan itu semua hanya ada dalam pikiran kita. Jumlah uang tetaplah lima juta. Dan ketika kita menilainya sebagai uang yang sedikit, kita manusia memiliki kemampuan untuk memilih, sehingga mengelolanya menjadi sejumlah uang yang cukup. Sedikit, bisa cukup. Kebalikannya kita bisa melihat lima juta sebagai jumlah yang banyak, tapi dikelola memenuhi sebuah keinginan yang bukan kebutuhan, sehingga kurang. Banyak bisa kurang.
Sama halnya pada pengertian sederhana bila kita membandingkan uang sejuta dengan sepuluh juta. Semua orang pasti sepakat bahwa sejuta lebih sedikit dari pada sepuluh juta yang lebih banyak. Suatu saat kita dipercaya membelanjakan uang tersebut. Sejuta yang sedikit bisa saja cukup memenuhi kebutuhan kita. Dan sepuluh juta yang banyak bisa saja kurang dalam memenuhi kebutuhan kita.
Sedikit bisa cukup, banyak bisa kurang. Sebenarnya itu semua sangat tergantung dari bagaimana kita melihat dan apa pilihan kita dalam mengelolanya untuk memenuhi kebutuhan…
Pitoyo Amrih
No comments:
Post a Comment