be well,
Dwika
Bagaimana Memotivasi Karyawan
**hasnulsuhaimi.com
Bersama rekan-rekan di perusahaan.
Pada tulisan sebelumnya, Seni Memotivasi Karyawan, saya sudah menjelaskan tentang empat tipe kecakapan dilihat dari kemampuan dan kemauan karyawan tersebut. Pada tulisan ini, saya ingin berbagi bagaimana cara saya mengimplementasikan seni memotivasi karyawan tersebut.
Idealnya, setiap karyawan sudah punya kemampuan dan motivasi yang kuat. Namun, kebanyakan karyawan adalah di tingkat M2 atau M3. Untuk tingkat manajemen umumnya sudah M3. Tapi ada juga orang yang benar-benar baru, masih M1, yang memang harus kita didik.
Sebagai CEO, tentunya kebanyakan tugas yang saya berikan adalah untuk jajaran tingkat manajemen, yang umumnya sudah di tingkat M3. Pada level ini mereka sudah punya kemampuan, tapi kita harus kembangkan lagi untuk menguasai kemampuan di bidang lain. Dengan demikian, pimpinan perlu mendorong orang-orang yang sudah punya kemauan dan kemampuan itu untuk menambah lagi kemampuan lebih banyak. Misalnya, untuk spesialis networking, mereka perlu menambah ilmunya di bidang marketing. Contoh lain, untuk yang sudah jago di marketing, diajak untuk berpartisipasi di bidang strategi. Jadi kemampuannya lebih komplit, kan?
Sebagai contoh, pekerjaan iklan biasanya dilakukan oleh teman-teman dari bagian marketing communications. Tapi, pada saat yang sama kita tanyakan pendapat dari teman-teman dari bagian networking atau financing. Aneh? Mungkin mereka memang tidak biasa mengerjakan iklan, tapi kita bisa mendapatkan sudut pandang yang berbeda-beda. Dengan cara ini, hasil yang didapat biasanya jauh lebih baik. Perusahaan mendapatkan keuntungan, sementara leader-nya terbantu. Karyawan yang dilibatkan juga akan merasa potensinya bertambah dan termotivasi untuk mencoba hal di luar bidangnya. Pada bidang yang sudah dia geluti lama, sudah jelas dia mampu. Karena itu, dia musti dibawa ke bidang lain agar kemampuannya semakin luas.
Bagi karyawan yang sudah M3, dorongan partisipatif akan lebih efektif dilakukan dengan memberikan tantangan (challenge) di luar kompetensi yang sudah dikuasainya. Jika karyawan yang dimaksud belum M3, maka kemungkinan akan kurang berhasil. Untuk itu, kita sebagai pemimpin harus mengetahui tingkat kecakapan anggota tim kita. Supaya kita dapat memilih cara yang optimal untuk menghadapi tim kita: tell, sell, partisipatif, atau delegatif.
Namun, perlu diperhatikan juga bahwa tingkat kecakapan ini juga bersifat case-by-case, tergantung kondisi dan tugas. Apakah sesuai kompetensi karyawan tersebut atau tidak? Misalnya, untuk kasus tertentu karyawan ini sudah mencapai M4, namun untuk beberapa kasus lain karyawan ini baru mencapai M2 saja. Beda kasus, beda tingkatan. Karena kemampuan manusia itu unik satu sama lain.
Saya biasanya mengambil asumsi awal dari M3. Selanjutnya, saya akan melihat kinerja karyawan tersebut. Setelah itu akan ketahuan, apakah sudah sesuai dengan yang kami harapkan ataukah tingkatannya mesti disesuaikan lagi: diturunkan ke M2 atau M1; atau bahkan dinaikkan ke M4.
Tidak jarang karyawan yang ditugaskan merasa tidak mampu. Untuk itu, jika tidak bisa dengan cara partisipatif, maka coba bimbing dengan cara sell, atau bahkan tell. Turunkan tingkat satu demi satu hingga sesuai dengan karyawan tersebut. Jika karyawan gagal di tugas barunya, bahkan dengan teknik tell, maka bisa jadi tugas barunya tidak sesuai. Jika itu yang terjadi, kepadanya bisa kita berikan tugas lain yang mungkin akan lebih sesuai.
Kasus lain, terkadang karyawan tersebut ternyata sudah mampu untuk menerima tugas yang bersifat pendelegasian (M4). Namun, untuk kasus M4, walaupun hanya tinggal mendelegasikan tugas, pemimpin tetap harus memperhatikan (monitoring) agar ide dan tugas yang dijalankan tetap berada di dalam jalur.
Jika penerapan motivasi ini sesuai dengan tingkatnya, maka proses kerja akan optimal dan sinergis. Bahkan hasilnya bisa melampaui perkiraan. Sebuah konsep yang sederhana memang, tapi tidak semua orang mampu untuk memahaminya.
Semoga bermanfaat. (HS)
No comments:
Post a Comment