be well,
Dwika
Belajar Dari Jepang
Oleh Anthony Dio Martin
Jepang sedang berduka dan seluruh dunia turut merasakannya pula. Pada 11 Maret 2011, Jepang diguncang gempa dan juga tsunami yang dahsyat. Gempa berkekuatan 8,9 skala Richter yang berpusat di Pula Honshu, ternyata bukan sekadar gempa biasa.
Efek dari gempa itu sendiri hingga sekarang masih belum pulih. Selain tsunami, ada pula masalah yang lebih mencekam yakni kebocoran PLTN di Fukushima. Total, diperkirakan ada sekitar 20.000 orang yang kehilangan nyawanya dalam bencana dahsyat di negara itu.
Seluruh Jepang betul-betul sedang berduka. Namun, di balik bencana ini, saya ingin mengajak Anda belajar dari sikap Jepang yang luar biasa dalam menghadapi bencana yang bisa menjadi motivasi bagi kehidupan kita.
Adalah Rouli Esther Pasaribu, seorang mahasiswa Indonesia di Jepang, yang tulisannya kini beredar di berbagai milis dan handphone di Indonesia yang membuat istilah Gambaru menjadi terkenal.
Dalam tulisannya tersebut, Raoli menyebutkan semangat gambaru yang dipelajarinya selama kuliah, justru ditunjukkan oleh orang-orang Jepang dalam menghadapi tiga musibah yang beruntun dialami saat ini: gempa, tsunami serta nuklir.
Menurut Rouli sempat muak dan sebal dengan para dosen yang mengajarinya bersemangat gambaru melalui karya-karya ilmiahnya. Namun kini yang muncul adalah rasa takjub melihat bagaimana semangat gambaru dipraktikkan masyarakat di Jepang saat menghadapi bencana.
Tidak ada penjarahan, tidak ada perampokan ataupun perilaku beringas tak terkendali akibat bencana. Juga tidak ada lagu-lagu menyayat hati yang diputar berulang-ulang ataupun fotofoto mengenaskan untuk mengetuk hati para penyumbang.
Masyarakat Jepang, yang dimotori oleh pemerintahnya, tetap tenang bahkan tampak tabah melewati bencana ini. Semangat gambaru dipompakan. Intinya, jangan manja, jangan cengeng, tetapi melihat semua masalah hidup sebagai suatu kewajaran hidup. Mereka diajarkan bahwa hidup pada dasarnya memang susah.
Jangan pernah berharap yang gampang atau enak. Persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan semangat gambaru, yakni mau sesusah apa pun persoalannya, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri agar bisa menang atas persoalan itu.
Mengambil hikmah
Dalam fanbook saya (http://www.anthonydiomartin.com/go/facebook/) saya sempat memposting-kan dua foto yang bertolak belakang saat perisitwa gempa bumi melanda dua negara. Satunya, saat gempa melanda Haiti
pada 2010.
Haiti luluh lantak dihantam gempa. Untungnya, tidak ada tsunami maupun bahaya nuklir. Kemudian, pada 2011, bencana melanda Jepang. Yang menarik adalah membandingkan foto-foto kejadian setelah gempa di kedua negara tersebut.
Di Jepang, khususnya di Sendai, rakyat tetap tampak tenang antre dan bahkan tidak berusaha merebut jatah makan orang lain. Lebih hebatnya lagi, bahkan orangorang di Sendai tidak berusaha mengambil jatah makan lebih karena berpikir, ”Ada saudara saya yang lain, yang juga dalam kesulitan serta butuh makan”.
Namun sebaliknya, pemandangan di Port Au Prince, Haiti, setelah gempa pada 2010 justru menjadi pemandangan yang memprihatinkan. Penjarahan, perampokan, dan orang-orang memegang senjata untuk melindungi tokonya terlihat di mana-mana.
Betapa berbedanya situasi di kedua negara tersebut. Mungkin sekarang pun kita bisa berandai-andai, bagaimana kalau seandainya tiga bencana sekaligus (gempa, tsunami dan nuklir) melanda negara kita. Apa yang bakal terjadi pada rakyat kita?
Tentu saja, kita bisa belajar bahwa apa yang terjadi di Jepang bukanlah sesuatu yang terjadi dalam satu malam atau satu dua tahun. Bangsa Jepang bisa melampaui situasi seperti ini dengan mental luar biasa, karena hasil proses pendidikan yang telah berlangsung ratusan tahun.
Inilah buah dari pendidikan karakter, bahkan sejak zaman restorasi Meiji pada 1853. Apa saja pelajaran penting serta hikmah menarik apa yang bisa dipetik dari sikap Jepang menghadapi bencana yang juga bisa diterapkan dalam hidup kita.
Melampaui kesulitan
Pertama, sedia paying sebelum hujan. Ada pepatah mengatakan cara terbaik untuk menghadapi kesulitan adalah mempersiapkannya sebelum terjadi. Bukannya kita menjadi paranoid dan hidup dalam
ketakutan, tetapi justru mempersiapkan hal-hal terburuk yang mungkin terjadi.
Kebanyakan dari kita sudah tahu Jepang adalah negara yang berada dalam lempeng gempa, sehingga peluang terjadinya gempa menjadi sangat tinggi. Karena itulah, hamper semua bangunan maupun infrastruktur dibangun untuk menghadapi ancaman ini.
Akibatnya, meskipun tetap memakan korban, jumlahnya dapat diminimalisasi. Kebanyakan korban yang belakangan timbul adalah karena tsunami. Di sini, bisa dibayangkan betapa banyak korban yang
mungkin akan terjadi seandainya kejadian ini bukan terjadi di Jepang.
Belajar dari situasi ini, kita pun perlu siap dengan berbagai skenario terburuk yang bisa terjadi dalam hidup kita, dan yang terpenting, bukan hanya membayangkan skenario itu, melainkan juga bertindak untuk mencegah hingga mengantisipasi seandainya peristiwa buruk itu terjadi.
Kedua, minimalkan akibat sampingan dari suatu masalah. Terkadang, suatu bencana atau masalah mungkin hanya akan memakan korban sedikit saja. Namun, berbagai sikap dan tindakan kitalah yang akhirnya justru membuat suatu masalah menjadi semakin runyam.
Ketiga, daripada mengeluh, lakukan sesuatu yang membangun. Seperti dilaporkan, selama proses pemulihan di Jepang, televisi tidak menyiarkan lagu-lagu yang menyayat hati ataupun memunculkan wajah-wajah korban yang memelas. Namun, televisi justru menyiarkan berita dan tempat maupun nomor telepon yang bisa dihubungi.
Keempat, sikap kita bisa memperingan ataupun memperburuk suatu keadaan. Bencana tetaplah bencana yang bisa dialami siapa saja secara random. Kadang kita tidak pernah tahu, ketika tiba-tiba suatu musibah dan bencana melanda diri kita.
Namun, yang terpenting seringkali bukanlah musibah tersebut, tetapi sikap kita setelah situasi yang tidak mengenakkan itu terjadi.
No comments:
Post a Comment