be well,
Dwika
10 Penyakit bagi Pekerja Pemula
Banyak pencari kerja yang berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan saat ini. Namun, bagi saya, yang menarik sebenarnya bukanlah perlombaan mendapatkan kerja ini. Justru sesudahnya! Dari pengalaman mengajar di berbagai perusahaan, saya amati banyak yang justru kehilangan motivasinya, saat pekerjaan telah selesai diperoleh. Kelihatannya, pada saat mendapatkan pekerjaan, oleh mereka dianggap tuntas pula tugas mereka. Hal ini, mirip dengan sebuah email yang pernah saya terima yang masih saya simpan,
“Pak Anthony. Saya bingung karena di awal-awal kerja, saya sudah kehilangan motivasi. Sebenarnya tempat kerja, tugas serta teman di sini cukup menyenangkan. Dibanding semangat saya mencari kerja dulu, rasanya kok saya sudah kehilangan energi saja. Please bantu saya dengan nasihat”
Atau, disisi lain, ada pula karyawan yang pada saat masuk kerja begitu bersemangat. Namun, hal itu hanya berlangsung satu atau dua tahun. Berikutnya. Mereka mengalami penurunan semangat kerja. Seperti terungkap di SMS ini.
“Kenapa ya Pak Anthony Dio Martin. Saya malas sekali berangkat kerja. Sepertinya kehilangan semangat. Tahun-tahun awal sih begitu mantapnya bergabung disini. Tapi sekarang untuk berangkat kerjapun saya rasanya enggan sekali. Apa yang terjadi dengan saya. Bagaimana saya bisa dapatkan semangat yang dulu?”
Pembaca, berbagai situasi dan pengalaman di atas, akhirnya menginspirasi saya untuk menuliskan 10 Penyakit Berbahaya bagi Pekerja Pemula. Kesemua daftar ini, saya rangkum dan diintisarikan dari pengalaman sebagai trainer, coach dan konselor di berbagai perusahaan yang telah saya hadapi. Inilah ke-10 Penyakit Berbahaya tersebut.
10 Penyakit Berbahaya
10 Penyakit Berbahaya
Penyakit pertama, tidak punya visi kerja yang jelas. Saya jadi teringat tentang seorang resepsionis yang merasa dirinya tidak di kembangkan. Akhirnya, karena merasa bersalah, maka pihak manajemen bertanya kepada resepsionis ini, “Kamu mau dikembangkan jadi apa?”. Si resepsionis ini terdiam. Ia sendiri tidak punya jawaban karena tidak tahu mau mengembangkan diri kemana. Inilah penyakit pertama yang bisa menggerogoti waktu sekian lama bagi seorang pekerja pemula, karena dirinya tidak tahu harus kemana. Ini mirip seperti fenomena orang yang berjalan di atas padang pasir, berulang-ulang, berputar dan bergerak tidak tentu arah, karena tidak tahu harus berjalan ke mana.
Penyakit kedua, bersemangat di awal, tetapi ‘letoy’ di akhir. Berbagai surat, email serta SMS yang saya ceritakan di atas menunjukkan penyakit yang satu ini. Ini banyak dialami oleh para pekerja pemula. Makanya, tidak mengherankan jika ada pepatah yang mengatakan, “Pekerja baru, selalu rajin”. Inilah fenomenanya. Mereka begitu bersemangat dan antusias di awal-awal. Bermangat untuk tahu, bersemangat untuk belajar. Namun, hal itu hanya terjadi di saat-saat awal, setelah itu mereka kehilangan semangat mereka. Hal ini mengingatkan kita pada lomba marathon dimana, di awal-awal orang begitu banyak dan begitu bersemngat untuk berlari. Tapi cobalah Anda perhatikan di saat-saat terakhir di garis finish. Hanya sedikit yang mampu selesaikan.
Penyakit ketiga, senang memulai tetapi sedikit yang selesai. Ini salah satu penyakit yang juga banyak saya amati pada para pemula kerja. Sebenarnya, ini adalah kelanjutan dari penyakit di nomer dua. Yakni di awal-awal, mereka suka terlibat dan senang mencemplungkan diri dalam berbagai proyek, aktivitas, kegiatan ataupun pekerjaan. Di awal-awal, mereka membuat rencana dengan bagus. Membuat peta, membuat timeline, membuat proyek maupun rencana. Tapi, jika dibuat proses evaluasi dan monitoring hingga pekerjaan mereka selesai, maka akan sedikit sekali yang tampaknya betul-betul tuntas mereka selesaikan. Pada akhir periode, akhirnya kita menyaksikan banyak pekerjaan mereka yang ‘tanggung’, yang dulu pernah mereka janjikan akan dikerjakan, yang dulu mereka terima, namun semuanya separuh-separuh dan tidak terselesaikan. Mereka, kehilangan semangat dan lebih tertarik mengerjakan yang lain.
Penyakit keempat, memilih-milih pekerjaan. Mereka cenderung melakukan pekerjaan yang mereka sukai. Mereka berusaha menunda, membiarkan, mengalihkan, membiarkan orang lain yang mengerjakan hal-hal yang tidak mereka sukai. Bahkan tak jarang terjadi, mereka melupakan apa yang tidak mereka sukai dengan harapan atasan atau manajemen akan lupa. Saat ditagih, barulah mereka mengerjakannya. Itupun dengan setengah hati. Bahkan ada kesan “kalau tidak ditanya, malahan lebih baik” atau “semoga saja atasanku lupa” dengan pekerjaan-pekerjaan yang tidak mereka sukai.
Penyakit kelima, menyepelekan pekerjaan kecil dan sederhana. Masih merupakan kelanjutan dari penyakit keempat adalah menyepelekan pekerjaan-pekerjaan yang mereka anggap sepele. Sebagai pekerja awal, mereka ingin pekerjaan yang tampaknya lebih bergengsi. Soal ini, saya teringat dengan salah satu rekan kerja di awal-awal saya dilatih sebagai trainer. Saat itu, teman saya ini lulusan luar negeri yang alergi dengan pekerjaan-pekerjaan remeh seperti mengangkat perlengkapan training, membagi-bagikan handout, mengurusi akomodasi peserta, dll. Akibatnya, suatu kali, karena tidak tahan lagi dengan mental ‘priyayi’nya, diapun dimarahi oleh atasan kami di depan semua tim. “Kalau kamu ingin jadi trainer handal, jangan remehkan hal-hal yang kecil. Kalau yang kecil saja kamu nggak bisa urus. Bagaimana mau mengurus yang besar?”, begitu kurang lebih omelan atasan saya yang cukup memberi pelajaran buatnya.
Panyakit keenam, membuat prioritas kerja sendiri. Jika diperhatikan, maka banyak pekerja pemula yang tampaknya begitu sibuk. Ada yang bahkan bekerja dengan keras hingga larut malam. Namun, yang perlu jadi pertanyaan disini adalah: prioritas pekerjaan siapakah yang sedang mereka lakukan? Beberapa kali, saya menyaksikan seorang atasan yang komplain habis-habisan terhadap karyawannya karena mereka mengerjakan hal yang tidak disuruh, tetapi yang disuruh malah tidak dilakukan.
Penyakit ketujuh, pasif menunggu perintah. Jaman sekarang adalah jaman dimana semua karyawan harus bisa jadi self starter.Jadi, karyawan semacam ini sungguh seringkali jadi masalah. Mereka ini sering tampak ‘hang’ alias tidak melakukan apapun, bengong dan suka duduk-duduk nongkrong ketika merasa tidak ada lagi pekerjaan yang harus dilakukan. Bahkan, tatkala orang lain sibuk, mereka bisa dengan santainya chatting, ngobrol atau tidak melakukan apapun. Tatkala, ketika ditanya mengapa tidak melakukan apapun, jawaban klise yang muncul adalah, “Soalnya nggak ada perintah sih!”
Penyakit kedelapan, tidak follow up pekerjaan hingga tuntas. Sebenarnya ini bukan penyakit karyawan pemula saja tetapi banyak karyawan lainnya yang tidak antusias melakukannya, yakni follow up suatu pekerjaan hingga ‘yakin’ bahwa pekerjaan itu telah tuntas. Misalkan saja, tatkala ada komplain dari customer, si karyawan ini hanya menyarahkan isi dari ‘komplain’ ke pihak yang dianggap bertanggung jawab. Tetapi, entah di-follow up atau tidak, mereka tidak begitu peduli. Mereka merasa, “yang penting sudah saya sampaikan”. Begitu pula saat menyerahkan laporan, mereka merasa kalau sudah menyerahkan ya sudah. Jarang sekali yang memastikan bahwa laporan mereka dibaca, apalagi menanyakan, “Apakah ada bagian yang kurang dari laporan itu yang harus saya perbaiki?”
Penyakit kesembilan, tidak melakukan update dan progress report. Ada karyawan yang atasannya tidak tahu dimana progress kerja bawahannya tersebut karena tidak pernah diupdate. Hal ini hanya membuat atasannya meraba-raba apa sih yang tengah dilakukan oleh bawahannya tersebut. Mereka seringkali pikir, kalau tidak ditanya maka tidak perlu memberikan update pekerjaan mereka.
Penyakit kesepuluh, tidak menaruh hati pada pekerjaannya. Karyawan baru sering membanding-bandingkan dengan rekan kerjanya yang lain atau dengan teman-temannya soal gaji, soal pekerjaan, soal situasi kerja. Dan karena membandingkan, mereka pun terkena sindrom, “Rumput tetangga lebih hijau” sehingga saat melakukan pekerjaannya pun, mereka setengah hatinya.
Apa dong solusinya? Kita akan kita bahas di tulisan mendatang!
No comments:
Post a Comment