be well,
Dwika
Motivasi di Balik Kampanye!
by Anthony Dio Martin
Sebentar lagi, setelah pemilihan legislatif yang berlangsung minggu ini, bangsa kita juga akan memulai hajatan memilih presiden. Acara 5 tahunan ini menjadi fenomena penting yang disoroti oleh berbagai pihak. Pokoknya, tahun ini merupakan tahun dimana rakyat dibombardir dengan berbagai kampanye, kampanye eksekutif maupun kampanye legislatif. Intinya, inilah masa dimana kampanye dijadikan sebagai kesempatan untuk ’unjuk gigi’. Setelah sekian lama entah berkiprah dimana, tiba-tiba di depan kita terpampang begitu banyak wajah yang tidak kita kenal sama sekali. Bermunculan, dengan begitu banyak janji untuk kepentingan daerah yang bahkan kita sendiri, sebagai orang daerah, tidak pernah mengenalnya.
Tak mengherankan, di tengah hiruk pikuknya kampanye ini, animo publik terhadap kampanye justru kian menurun. Tidak sedikit opini yang menganggap kampanye justru membuat situasi kota makin macet, keruh, dan sama sekali tidak mempengaruhi pilihan suara mereka. Bahkan ada yang menganggapnya seperti sebuah lelucon. Baru-baru ini sebuh surat kabar bahkan membuat kartun gambar legislatif yang isinya tahun pertama terpilih, menghitung modal yang sudah keluar. Tahun kedua, ketiga dan keempat, sibuk mengembalikan modal. Sedangkan tahun kelima, sibuk mengeluarkan modal untuk berkampanye kembali. Jadi, kapan punya waktu untuk memperjuangkan rakyat?
Bahkan, saya teringat sekitar lima tahun yang lalu, saat berada di sebuah hotel, saya mendengar pembicaraan yang agak memalukan. Tapi karena dibicarakan dengan nada keras, isinya jadi terdengar. Inti percakapan itu adalah seorang calon anggota DPR yang tidak berhasil terpilih yang ’marah-marah’ kepada seorang ’broker’ karena merasa telah mengeluarkan hampir 1 milyar, tapi tidak berhasil terpilih. Sementara, si broker berusaha menenangkan si calon tersebut supaya tidak naik pitam. Sebuah percakapan yang kedengaran lucu, tapi membuat hati miris mendengarnya.
Motif Dibalik Kampanye
Cukup ironis, mengingat bahwa kampanye sebenarnya bertujuan untuk mensosialisasikan visi misi masing-masing partai, yang ujung-ujungnya untuk ”membujuk” semua orang agar memilih partai mereka. Mengapa antipati terhadap kampanye ini bisa sampai sedemikian parahnya di Indonesia? Apakah para capres dan jubir kampanye tidak cukup berkarisma untuk menarik hati?
Menurut saya, salah satu penyebabnya adalah karena rakyat kita sudah cukup lama merasa kecewa dan tertipu dengan kampanye. Itu sebabnya muncul kalimat, ”Kalau menjelang Pemilu, semua sok baik dan obral janji. Nanti kalau sudah terpilih, lupa semua janjinya.” Kekecewaan ini yang akhirnya membuat orang tidak lagi percaya dengan kampanye. Ditambah lagi adanya anggota dewan ”pilihan rakyat” yang berperilaku memalukan. Mulai dari korupsi, terjerat kasus moralitas, ”baku hantam” di tengah sidang, hingga tidur saat rapat. Kepercayaan publik terhadap siapapun yang berkampanye telah hancur.
Jika dianalisa dari ilmu psikologi, maka boleh dikatakan rakyat mengalami disonansi kognitif (cognitive dissonance). Antara apa yang mereka saksikan sehari-hari dengan apa yang mereka dengar dalam kampanye sangat bertentangan. Karena itulah, tak mengherankan jika dalam kondisi ini, rakyat cenderung bingung. Dan ketika kebingungan ini muncul, rakyat cenderung memilih apatis karena ada begitu banyak agenda yang lebih penting bagi kehidupan mereka sehari-hari.
Belajar Makna Kampanye
Saya berpikir, kampanye sesungguhnya bukanlah sebuah momentum. Bukan pula pengumpulan massa. Kampanye yang sebenarnya justru terjadi ketika kita melakukan tanggung jawab kita dan memberi kontribusi yang berarti untuk kehidupan orang lain. Ketika seorang pemimpin mengambil tanggung jawabnya untuk mengayomi, mengarahkan, melindungi, dan memberdayakan orang lain, saat itulah sebenarnya ia sedang berkampanye tentang dirinya. Kampanye sama sekali tidak berbicara mengenai karisma, melainkan mengenai trust. Darimana datangnya trust? Dari tanggung jawab yang diselesaikan. Saat Anda berani mengambil tanggung jawab dan menyelesaikannya, Anda sudah melakukan kampanye paling efektif!
Saya beri salah satu contoh yang pernah saya berikan dalam seminar Kecerdasan Emosional yang saya pandu. Kisahnya, suatu hari Alexander The Great memimpin pasukannya untuk mengadakan sebuah invasi penting. Tak disangka, mereka tersesat di gurun pasir. Berhari-hari berjalan di tengah gurun pasir, pasukan Alexander mulai kehabisan air dan sangat kelelahan. Bahkan, cukup banyak pasukan yang meninggal di tengah gurun. Suatu ketika, Alexander merasa haus dan meminta air pada bawahannya. Persediaan air saat itu sudah habis, sehingga akhirnya seluruh pasukan berusaha mengumpulkan sisa air yang ada untuk mendapat 1 gelas air. Ketika Alexander mengetahui bahwa itu adalah air yang terkumpul dari sisa terakhir, ia berkata, ”Jika saya meminum air ini dan kalian kehausan demi air ini, saya tidak layak memimpin kalian.” Alexander membuang air itu dan berteriak, ”Kita pasti bisa melewati masa sulit ini! Kita akan melewati gurun ini!” Moral pasukan yang sudah hancur, tiba-tiba bangkit kembali, dan mereka akhirnya mampu melewati gurun itu.
Inilah kampanye yang sesungguhnya. Alexander tidak perlu berkoar-koar untuk mendapatkan dukungan. Tindakannya sudah menjadi kampanye yang bersuara keras. Mengapa para para legislatif kita sulit mendapat trust dari rakyat? Karena mereka hanya berkampanye dengan modal ”karisma” dan kepiawaian bicara, bukan dengan tindakan yang bertanggung jawab. Lagipula, itupun hanya dilakukan sebagai momentum belaka!
Nah, pertanyaan singkat, wahai para pemimpin, sudahkah tindakan Anda menunjukkan kampanye Anda setiap hari? Mari kita ingat, ”Action ALWAYS speak louder than words…”!
No comments:
Post a Comment