be well,
Dwika
Sebagai konsumen atau pembeli, kita semua hampir pasti pernah mengalami pengalaman pahit berkaitan dengan pelayanan pelanggan yang memilukan. Mungkin ada di antara kita yang pernah pesawatnya delay hingga 3 jam dan setelah itu hanya diberi sebungkus nasi kotak dengan lauk ala kadarnya (plus ditambah basa-basi “karena alasan operasional, pesawat kami ditunda blah, blah…..).
Atau juga kita pernah dongkol lantara koneksi internet di rumah macet, dan ketika kita menelpon bagian call center untuk komplain, tidak pernah ada yang mengangkat. Dan ketika akhirnya diangkat, yang menjawab adalah mesin (doh). Atau mungkin kita pernah datang ke rumah sakit, dan dilayani dengan sekadarnya, tanpa senyum, tanpa empati, seolah-olah kita semua adalah pesakitan. Plis deh.
Cerita demi cerita sendu semacam itu mungkin tak akan pernah kering membentang di hadapan kita. Pertanyaannya : kenapa pengalaman yang kelabu semacam itu sepertinya selalu terus berulang? Disini kita mau mendiskusikan dua faktor kunci yang membuat kebanyakan customer service gagal memberikan “moment of truth” yang indah dan layak dikenang.
Penyebab pertama : pada akhirnya customer service tidak hanya sekedar senyum manis yang mengembang dibalik keramahan para petugas front liners. Lebih dari itu, dan mungkin jauh lebih penting, konsep pelayanan pelanggan hanya bisa berhasil jika ia dirajut melalui customer service strategy yang terpadu dan komprehensif.
Kita mungkin dibuat senang dengan senyum ramah teller Bank Mandiri yang muda nan rupawan. Namun kita mendadak kehilangan mood ketika mencoba layanan internet banking-nya. Sebabnya sederhana : koneksi internet banking mereka tergolong lamban, dan sering down.
Atau juga kita dibikin riang dengan iklan XL yang sumringah, dengan tagline XL Xlalu di Hati itu. Namun mereka lupa, iklan itu membuat pelanggan mereka bertambah pesat, dan jaringan GSM mereka jadi limbung kelebihan beban. Akibatnya, tak jarang kualitas jaringan mereka mendadak menjadi lenyap (blank spot), dan ini meninggalkan kesan pahit bagi para pelanggannya.
Atau kita mungkin kembali dihadapkan pada problem klasik : pelanggan kecewa berat lantaran produsen gagal memenuhi permintaan pelanggan yang terlalu membludak. Anda mungkin terkesan dengan produk Scoopy dari Honda yang keren itu. Apalagi ditambah dengan lagu One Heart dari Nidji yang rancak. Namun banyak calon pelanggan Honda kecewa berat karena mereka harus inden hingga tiga bulan sekedar untuk mendapatkan Scoopy.
Semua kisah diatas memberikan poin yang jelas : tanpa dukungan yang solid dan terpadu dari departemen lain, pelayanan pelanggan hanya akan menjadi slogan. Bank Mandiri gagal memuaskan pelanggannya lantara divisi IT mereka kurang sigap menambah server. XL membuat para pelanggannya termehek-mehek lantara absennnya dukungan infrastruktur jaringan yang handal. Dan Honda membuat pelangganya mengalami broken heart (bukan one heart) lantara kegagalan production planning serta demand forecasting mereka.
Penyebab kedua kenapa most customer services suck adalah ini : budaya yang berorientasi pada kepuasan pelanggan belum benar-benar bersenyawa di hati segenap para karyawan perusahaan. Budaya kuat untuk terus membuat pelanggan happy acap belum begitu tertancap. Itulah kenapa kita masih sering menerima layanan petugas customer service yang tanpa senyum, tanpa empati. Itulah juga kenapa ketika kita komplain, acap kita di ping-pong kesana kemari, tanpa jawaban yang tuntas dan membikin hati adem.
Mungkin budaya pelayanan pelanggan itu tak pernah diinternalisasikan secara konstan dan tanpa kenal lelah. Mungkin juga budaya itu tidak jalan lantaran belum didukung dengan SOP yang jelas dan terimplementasi dengan konsisten. Atau mungkin budaya pelayanan pelanggan ini mandek lantaran tidak adanya kebijakan yang jelas dan kuat tentang bagaimana memperlakukan pelanggan dengan passion dan sepenuh hati.
Padahal, budaya pelayanan pelanggan yang memuaskan semestinya menjadi roh bagi segenap kegiatan sebuah organisasi (baik organisasi bisnis perusahaan atau juga kantor pelayanan publik). Sebab, bukankan pelanggan itu yang memberikan sumber pendapatan bagi perusahaan : dan sumber utama pendapatan untuk menggaji para karyawan? Tanpa pelanggan yang loyal, bukankah sebuah organisasi bisa kolaps dan mati?
Demikianlah dua alasan kunci kenapa kenapa pelayanan pelanggan di negeri ini acap berakhir dengan cerita kelabu. Kita berharap semua perusahaan di tanah air terus mau belajar agar customer service mereka bisa berjalan dengan mak nyus.
Sebab kita tahu, happy customers will create sustainable profit and happiness.
Atau juga kita pernah dongkol lantara koneksi internet di rumah macet, dan ketika kita menelpon bagian call center untuk komplain, tidak pernah ada yang mengangkat. Dan ketika akhirnya diangkat, yang menjawab adalah mesin (doh). Atau mungkin kita pernah datang ke rumah sakit, dan dilayani dengan sekadarnya, tanpa senyum, tanpa empati, seolah-olah kita semua adalah pesakitan. Plis deh.
Cerita demi cerita sendu semacam itu mungkin tak akan pernah kering membentang di hadapan kita. Pertanyaannya : kenapa pengalaman yang kelabu semacam itu sepertinya selalu terus berulang? Disini kita mau mendiskusikan dua faktor kunci yang membuat kebanyakan customer service gagal memberikan “moment of truth” yang indah dan layak dikenang.
Penyebab pertama : pada akhirnya customer service tidak hanya sekedar senyum manis yang mengembang dibalik keramahan para petugas front liners. Lebih dari itu, dan mungkin jauh lebih penting, konsep pelayanan pelanggan hanya bisa berhasil jika ia dirajut melalui customer service strategy yang terpadu dan komprehensif.
Kita mungkin dibuat senang dengan senyum ramah teller Bank Mandiri yang muda nan rupawan. Namun kita mendadak kehilangan mood ketika mencoba layanan internet banking-nya. Sebabnya sederhana : koneksi internet banking mereka tergolong lamban, dan sering down.
Atau juga kita dibikin riang dengan iklan XL yang sumringah, dengan tagline XL Xlalu di Hati itu. Namun mereka lupa, iklan itu membuat pelanggan mereka bertambah pesat, dan jaringan GSM mereka jadi limbung kelebihan beban. Akibatnya, tak jarang kualitas jaringan mereka mendadak menjadi lenyap (blank spot), dan ini meninggalkan kesan pahit bagi para pelanggannya.
Atau kita mungkin kembali dihadapkan pada problem klasik : pelanggan kecewa berat lantaran produsen gagal memenuhi permintaan pelanggan yang terlalu membludak. Anda mungkin terkesan dengan produk Scoopy dari Honda yang keren itu. Apalagi ditambah dengan lagu One Heart dari Nidji yang rancak. Namun banyak calon pelanggan Honda kecewa berat karena mereka harus inden hingga tiga bulan sekedar untuk mendapatkan Scoopy.
Semua kisah diatas memberikan poin yang jelas : tanpa dukungan yang solid dan terpadu dari departemen lain, pelayanan pelanggan hanya akan menjadi slogan. Bank Mandiri gagal memuaskan pelanggannya lantara divisi IT mereka kurang sigap menambah server. XL membuat para pelanggannya termehek-mehek lantara absennnya dukungan infrastruktur jaringan yang handal. Dan Honda membuat pelangganya mengalami broken heart (bukan one heart) lantara kegagalan production planning serta demand forecasting mereka.
Penyebab kedua kenapa most customer services suck adalah ini : budaya yang berorientasi pada kepuasan pelanggan belum benar-benar bersenyawa di hati segenap para karyawan perusahaan. Budaya kuat untuk terus membuat pelanggan happy acap belum begitu tertancap. Itulah kenapa kita masih sering menerima layanan petugas customer service yang tanpa senyum, tanpa empati. Itulah juga kenapa ketika kita komplain, acap kita di ping-pong kesana kemari, tanpa jawaban yang tuntas dan membikin hati adem.
Mungkin budaya pelayanan pelanggan itu tak pernah diinternalisasikan secara konstan dan tanpa kenal lelah. Mungkin juga budaya itu tidak jalan lantaran belum didukung dengan SOP yang jelas dan terimplementasi dengan konsisten. Atau mungkin budaya pelayanan pelanggan ini mandek lantaran tidak adanya kebijakan yang jelas dan kuat tentang bagaimana memperlakukan pelanggan dengan passion dan sepenuh hati.
Padahal, budaya pelayanan pelanggan yang memuaskan semestinya menjadi roh bagi segenap kegiatan sebuah organisasi (baik organisasi bisnis perusahaan atau juga kantor pelayanan publik). Sebab, bukankan pelanggan itu yang memberikan sumber pendapatan bagi perusahaan : dan sumber utama pendapatan untuk menggaji para karyawan? Tanpa pelanggan yang loyal, bukankah sebuah organisasi bisa kolaps dan mati?
Demikianlah dua alasan kunci kenapa kenapa pelayanan pelanggan di negeri ini acap berakhir dengan cerita kelabu. Kita berharap semua perusahaan di tanah air terus mau belajar agar customer service mereka bisa berjalan dengan mak nyus.
Sebab kita tahu, happy customers will create sustainable profit and happiness.
No comments:
Post a Comment