Search This Blog

Sunday, May 22, 2011

Derajat yang tepat

Anda bisa marah. Itu mudah. Tetapi marah kepada orang yang tepat, derajat yang tepat, waktu yang tepat, dengan tujuan dan cara yang tepat, tidaklah mudah.
be well,
Dwika





"Komunikasi Tanpa Marah" by: Ponijan Liaw

Setiap orang bisa marah. Itu mudah. Tetapi marah kepada orang yang tepat, derajat yang tepat, waktu yang tepat, dengan tujuan dan cara yang tepat, tidaklah mudah.
Aristoteles, generasi ketiga setelah Socrates dan Plato, sungguh luar biasa tercerahkan pada jamannya yang belum tersentuh kecanggihan teknologi masa kini ketika mengungkapkan kalimat di atas. Kualitas mental dan batinnya benar-benar telah teruji secara positif dan futuristik. Pasalnya, sampai hari ini kalimat bijaknya tetap relevan, tidak lapuk dimakan rayap jaman. Ia benar ketika mengatakan, marah adalah urusan gampang. Namun kapan, dimana, pada siapa dan bagaimana energi negatif itu akan ditumpahkan, itu menjadi tidak mudah. Karena jika salah menerapkannya, badai pertikaian akan segera berkecamuk dalam hubungan antar sesama. Bahkan bisa terkadang akan menjadi semakin memburuk dan destruktif.

Ada sebuah kisah menarik tentang hal marah ini di White House saat Bill Clinton menjadi presidennya. Dikisahkan, entah karena terlalu banyak bekerja, kurang tidur atau karena dipusingkan oleh urusan Monica Lewinsky, Clinton menjadi sangat marah kepada para wartawan di suatu pagi di kantor kepresidenannya. Para wartawan kaget bukan kepalang karena belum pernah ada referensi kejadian itu sebelumnya. Clinton yang sangat flamboyan dan relatif tidak formal itu belum pernah berbicara dengan nada tinggi seperti itu. Mereka pun mencoba menganalisa peristiwa itu dengan cara sendiri-sendiri tanpa kesimpulan yang dapat ditarik secara kolektif. Kebingungan para wartawan ternyata tidak berlangsung lama. Pada sore harinya, Clinton masuk ke press room meminta maaf dan mengharapkan para kuli tinta itu melupakan kejadian pagi hari itu. Ia khilaf karena terlalu letih. Kisah ini sangat sesuai jika direfleksikan dengan apa yang dikatakan Aristoteles di atas. Marah itu mudah. Tempat, cara dan kepada siapa hal itu harus ditumpahkan yang akhirnya menjadi sulit. Clinton adalah contohnya. Ia salah menyampaikan kemarahannya kepada wartawan di waktu dan tempat yang salah pula.

Ingatlah bahwa untuk setiap menit kemarahan dan emosi negatif yang dikuncarkan kepada orang lain, menurut Ralph Waldo Emerson, kita telah kehilangan enam puluh detik kebahagiaan. Kalimat lengkapnya, ’for every minute you are angry you lose sixty seconds of happiness.’ Dalam kondisi batin dan suasana hati tidak bahagia itu, bagaimana mungkin konversasi bisa dilakukan secara kondusif dan produktif. Kehilangan kesempatan sudah menunggu di depan mata. Pelanggan baru belum tentu dapat, pelanggan lama akan hengkang. Belum lagi energi positif terkuras dari tangki afeksi secara besar-besaran sehingga membuat pemiliknya kehilangan cinta dan kasih. Jika setiap kita lebih mengedepankan komitmen terhadap pekerjaan dengan meningkatkan etos kerja secara lebih maksimal, tentu efektivitas usaha akan semakin meningkat seperti apa yang disarankan oleh Brian Koslow dalam untaian kata bijaknya, ’to increase your effectiveness, make your emotions subordinate to your commitments.’ Untuk meningkatkan efektivitas Anda, buatlah emosi menjadi lebih rendah (bawahan) dari komitmen Anda. Lagian, harus dicamkan baik-baik bahwa pelanggan menyimpan sejuta emosi yang tidak logis. Mereka memiliki bermacam-macam keinginan dan meminta penyedia jasa dan produk untuk memenuhinya. Jika memahami kondisi ini, rasanya kita tidak perlu lagi terpancing oleh apa pun yang dikatakan mereka. Dale Carnegie, pakar komunikasi, pernah mengajarkan bahwa ‘when dealing with people, remember you are not dealing with creatures of logic, but creatures of emotion.’Ketika berhubungan dengan orang, ingatlah bahwa Anda bukan sedang berhadapan dengan makhluk logis, tetapi makhluk emosi. Artinya, rasio tidak mengedepan dalam relasi antarsesama, apalagi dengan penjual produk/jasa yang sudah mengecewakan mereka. Yang lebih mengemuka adalah emosi. Dan, emosi itu bukan rasio. Ia lebih ke masalah perasaan dan hal itu tidak terukur. Sesuatu yang tidak terukur tentu relatif menjadi lebih sulit untuk ditangani dengan pendekatakan rasional yang sistemik dan terukur. Karenanya, untuk apa kecewa dengan pelanggan marah yang kurang mengedepankan kewajaran? Cukuplah tenang, tidak emosi, tetap terkendali dan terfokus. Jangan sampai kita membuat sebuah konversasi yang akan disesali sepanjang perjalanan karir bisnis. Camkan apa yang dikatakan oleh Ambrose Bierce, ‘speak when you are angry and you will make the best speech you will ever regret.’ Bicaralah ketika Anda marah dan Anda akan membuat pidato terbaik yang selalu akan Anda sesali!


No comments:

Post a Comment