Search This Blog

Sunday, May 22, 2011

High context communication

Iklan produk mewah yang ditunjukan kepada masyarakat papan atas menggunakan strategi high context communication. Strategi yang memberikan ruang pembaca kelas atas menarik makna di balik peristiwa.
be well,
Dwika






"Berkomunikasi Visual" 
by: Ponijan Liaw

Ketika Anda menerima sepucuk undangan atau melihat iklan seminar atau sejenisnyaa di media cetak, informasi apa yang pertama kali Anda cari untuk Anda lihat? Jawabannya bisa bervariasi. Tapi, urutan teratas yang pernah tercatat dari survei kecil soal ini adalah hari dan tanggal (waktu). Di urutan kedua adalah tempat (lokasi). Itulah dua informasi teratas yang paling dicari penerima informasi
Sayangnya, tidak semua orang, termasuk korporasi yang beriklan di Koran, memperhatikan hal ini. Padahal, saat pembaca membetotkan matanya ke media visual itu, ia sering terganggu karena harus mencari informasi soal hari dan waktu pelaksanaan acara, yang ternyata tidak tercantum di iklan tersebut.
Jika kalender tersedia di atas meja, mungkin tidak menjadi soal. Tapi jika tak ada kalender dan telepon genggam juga tidak menyediakan fasilitas serupa, dapat kita bayangkan berapa ekstra-energi yang harus tergerus hanya untuk mencari sesuatu yang sebenarnya bisa dibantu sang pembuat iklan visual.

Pakem Dasar
Sejatinya, komunikasi visual, sesuai dengan namanya, merupakan komunikasi yang menyampaikan pesan dan gagasan secara visual menyalurkan pesan melalui kombinasi seni, lambing, tipografi, gambar, desain grafis, ilustrasi, huruf, tata letak dan warna dalam penyampaiannya agar dapat diterima secara efektif sesuai dengan target yang diinginikan. Definisi ini merupakan perluasan dari apa yang telah digambarkan di atas sebagai komunikasi visual verbal (soal hari yang tidak dicantumkan di event yang diiklankan).
Sayangnya banyak juga iklan visual yang tidak merayapkan pakem dasar seperti di atas. Selain soal hari dan waktu yang tidak tercantum tadi, ada juga iklan yang tidak memperhatikan latar warna medianya. Alhasil, tulisan yang tercetak di atasnya tengelam dalam lautan warna dasar dan hanya dapat dibaca setelah mata berkerja keras memelototinya. Ini belum termasuk ukuran tulisan yang terlalu kecil, tidak sebanding dengan bidang media iklan yang disediakan.
Masalah bertambah lagi dengan pemilihan jenis font yang terlalu nyentrik dengan tipe huruf melingkar-lingkar, terlalu nyeni, sehingga melelahkan mesin kognitif untuk merangkai huruf-huruf yang dimaksud agar bisa dipahami.
Semua itu mempengaruhi kecepatan orang yang memahami sebuah pesan visual. Apalagi jika iklan visual tersebut dimaksud bisa dilihat sambil lalu ketika berkendara di jalan. Di sini, dibutuhkan teknik iklan visual yang bisa sekali baca, langsung dipahami.
Sisi lain yang juga harus diperhatikan dalam pembuatan iklan visual adalah target market. Market research dan market insight tentu menjadi salah satu aktivitas yang perlu dilakukan. Hal ini akan mempengaruhi siapa, apa, dan bagaimana konsep komunikasi visual itu akan dibuat. Alangkah lucunya jika iklan sebuah produk mewah yang ditunjukan kepada masyarakat papan atas dilakoni bintang kelas bawah, lengkap dengan low context communication. Gaya bahasa dan dialek yang sangat “membumi”, langsung ke inti masalah.
Iklan jenis ini seharusnya menggunakan strategi high context commujnication. Strategi yang memberikan ruang pembaca kelas atas menarik makna di balik peristiwa.
Jika dikaji lebih jauh soal iklan tadi, seyogianya komunikasi verbal (dialog) dan nonverbal (model iklan dan bahasa tubuh) merupakan satu rangkaian konseptual yang harus direncanakan dan ditangani secara serius dan matang.

Agregasi Teori
Kedua elemen itu menjadi satu kesatuan unit yang saling mendukung untuk menuju satu muara yang sama: peningkatan omzet. Jika satu di antara kedua elemen itu tidak sesuai dengan yang seharusnya, kepincangan dan kemandulan pesan pasti terjadi.
Hal seperti ini pernah terjadi dalam iklan visual di media cetak dan elektronik yang ada di negeri ini, di suatu masa. Akibatnya, positioning produk dimaksud menjadi tidak sesuai dengan kelas dan citra publik yang ingin dibangunnya. Iklan dan produk menjadi obrolan sinis dan sadis di ruang rapat bisnis sampai rapat kelas eksekutif institusi bisnis.
Jika “pencemaran brand” ini sudah terjadi, rasanya, energi, waktu, dan cost menjadi semakin tidak sebanding dengan efisiensi dan target Korporasi yang ingin dibangun. Inilah akibat paling fatal dari sebuah aktivitas komunikasi korporasi yang tidak boleh dikebiri. Keduanya adalah ingredients pembuat “kue” besar dan lezat yang akan mengisi pundi-pundi korporasi.
Komunikasi visual yang menjual sesungguhnya tidak telalu sulit untuk diraih, asal filosofi dasar komunikasi pamasaran dipahami dengan baik.
Ada teori klasik Gode dan Littlejohn yang bisa dijadikan acuan soal komunikasi ini. Gode (1959) mengatakan bahwa komunikasi adalah proses yang membuat sesuatu yang semula dimiliki seseorang atau monopoli seseorang menjadi milik dua orang atau lebih. Adapun menurut Littlejohn (2002), komunikasi adalah proses transmisi informasi.
Bila disintesiskan, kedua pandangan akan menghasilkan sebuah agregasi teori yang lebih jernih: informasi bermutasi dari satu orang ke orang lain. Karena itu, penggagas desain komunikasi visual harus benar-benar memahami, apa yang ada di kepalanya harus bisa sampai kepada orang lain (pembaca iklannya) tanpa atau dengan distrosi seminim mungkin.


No comments:

Post a Comment