volcanore.jpgKetika badai Katrina menghantam dan meluluhlantakkan kota indah New Orleans beberapa tahun silam, segenap jajaran pemerintah AS yang bertanggungjawab menangani bencana mengalami kepanikan dan gagal dalam mengambil tindakan penanggulangan yang responsif.
Namun persis pada momen itu, sejumlah perusahaan besar Amerika bergerak cepat dan serentak memberikan respon. Perusahaan Fedex yang ahli dalam logistik langsung bergerak dan dalam hitungan jam mampu mendistribusikan bantuan bagi jutaan penduduk yang terkena kemalangan. Sementara perusahaan retail raksasa Walmart langsung menginstruksikan jaringan gerainya disekitar kejadian bencana untuk memasok ribuan item bahan makanan secara gratis bagi para korban.
Tanpa banyak cakap, para ahli logistik yang bekerja sebagai karyawan di kedua perusahaan itu bahu membahu menolong ribuan korban yang terjebak dalam badai. Banyak pengamat yang tertegun dengan kecepatan kedua perusahaan itu dalam mengelola logistik dan supply chain bagi daerah bencana. Sebagian yang lain lantas menyebut kisah heroisme mereka dalam tragedi badai Katrina itu sebagai contoh terbaik tentang bagaimana menjalankan disaster management (atau manajemen kebencanaan).
Kini ketika negeri ini diguncang dengan badai tsunami di Mentawai dan abu vulkanik telah meluluhlantakkan kota Jogjakarta, kita mungkin merindukan langkah responsif semacam itu. Tentu saja sejumlah organisasi bisnis (perusahaan) telah melakukan inisiatif untuk membantu bencana itu. Namun sayang sebagian besar tindakannya masih tergolong konvensional dan kuno. Yang paling klise adalah ini : banyak perusahaan (media, bank, perusahaan minyak, dll) yang lalu beramai-ramai membuka dompet bencana untuk menyalurkan bantuan. Bagus juga inisiatif semacam ini, but that’s not enough.
Dalam konteks itulah maka muncul gagasan untuk mengkombinasikan kegiatan Corporate Social Responsibility (atau CSR) dengan inisiatif Disaster Management. CSR kita tahu kini makin menyeruak menjadi tema penting bagi keberlanjutan dunia bisnis. Nah disini kita punya dua inisiatif penting yang mungkin layak ditimbang kala kita mau mensinergikan kegiatan CSR dengan disaster management.
Inisiatif pertama : memasukkan program disaster management yang terpadu sebagai bagian dari program CSR. Kini ditengah beragam program CSR (beasiswa pendidikan, bantuan modal usaha, penghijauan taman kota, dll) nyaris tidak ada satu perusahaan yang memasukkan item mengenai disaster management sebagai salah satu program unggulannya.
Kita membayangkan ada sejumlah perusahaan yang berinisiatif membentuk tim disaster management yang terlatih dengan segenap perangkat pendukunganya; dan sewaktu-waktu dengan cepat akan bergerak ke daerah bencana sebagai bagian dari CSR perusahaan.
Demikianlah misalnya kita membayangkan perusahaan United Tractrors (produsen traktor dan buldozer) mempunyai tim disaster management. Lalu persis ketika desa di Sleman tersapu abu vulkanik, mereka dengan cepat menyiapkan satu tim buldozer lengkap dengan sopirnya yang trampil untuk bergerak menuju lokasi.
Atau kita membayangkan Pertamina mempunyai tim disaster management yang solid sebagai bagian dari CSR. Dan ketika ribuan pengungsi di Cangkringan kekurangan pasokan air, segera ratusan truk tim disaster management Pertamina datang memasok ribuan liter air bersih – lengkap dengan sistem manajemen distribusinya. Tidakkah langkah-langkah seperti ini jauh lebih keren dibanding sekedar membuka dompet bencana?
Inisiatif kedua : perusahaan tidak hanya cukup memberikan donasi uang atau dompet bantuan. Sebagai bagian dari CSR, ada yang lebih penting dari itu, yakni : memberikan bantuan human capital (brain capacity) dan keahlian manajerial. Banyak perusahaan yang mempunyai manajer handal dalam bidang logistik, civil engineering, supply chain dll. Lalu mengapa mereka tidak mengirimkan para manajer terbaiknya terjun ke lokasi, menyiapkan distaster management yang terkoordinasi rapi demi menolong para korban bencana?
Dan persis langkah semacam itulah yang dulu dilakukan oleh Fedex dan Walmart. Detik ketika badai Katrina menyerbu, mereka langsung mengirimkan para manajer terbaiknya dalam bidang logistik ke lokasi bencana; dan membebaskan mereka semua dari rutinitas tugas kantor. Puluhan manajer lainnya juga diberikan cuti gratis dan langsung diminta menjadi sukarelawan untuk total bekerja membantu korban bencana. Ditopang oleh keahlian manajerial dan sistem logistik yang profesional, para manajer ini dengan sigap mampu mengelola bencana dengan sangat rapi dan teratur.
Demikianlah dua inisiatif kunci yang bisa dilakukan untuk mensinergikan kegiatan CSR dengan Disaster Management. Kalau saja inisiatif penting ini dilakukan, mungkin reputasi perusahaan akan menjadi kian harum. Namun ada yang lebih penting lagi : karyawan menjadi sangat bangga bekerja di sebuah perusahaan yang peduli dengan tugas-tugas kemanusiaan yang mulia nan luhur.
Dulu, selepas menunaikan tugasnya yang heroik menyelamatkan korban Katrina, puluhan karyawan Fedex saling berangkulan dan meneteskan air mata. We are proud to be members of Fedex, begitu pekik mereka dengan penuh keharuan. Bangga karena selesai menjalankan tugas kemanusiaan yang di-support penuh olah perusahaanya.
Tidakkah itu merupakan sumber motivasi yang amat kuat untuk membangun SDM yang tangguh dan berhati mulia ?