Search This Blog

Sunday, July 31, 2011

Kurva-S

Membuat Kurva-S [Manajemen Proyek]

(Malang, HARISPRADIPTA.blogspot.com)

Akhirnya gue mengerjakan Proyek Akhir juga. Apa itu Proyek Akhir? Proyek Akhir itu Skripsinya Mahasiswa Universitas Negeri Malang yang ambil studi D3. Lalu apa hubungannya dengan judul post ini?

Nah, begini ceritanya. Judul Proyek Akhir gue “Studi Perbandingan Biaya dan Waktu Pelaksanaan Pekerjaan Dinding Menggunakan Batu Bata Ringan Citicon Dengan Batu Bata Merah  Proyek Pembangunan Rumah Dua Lantai Perumahan Araya Kavling 43 & 45”, panjang ya? Karena menurut gue yang panjang itu pasti keren!

Nah, seperti yang tertera dalam judul, gue membahas tentang biaya dan waktu. Untuk perhitungan biaya proyek, teman-teman dapat membaca di post gue sebelumnya tentang cara-cara perhitungan RAB (klik disini). Setelah perhitungan RAB, para kontraktor harus meneruskan pekerjaannya menghitung RAP atau Rencana Anggaran Pelaksanaan. RAP kebutuhan material dan tenaga secara detail untuk menyelesaikan suatu bangunan, atau dapat juga dimaksud dengan penjabaran dari RAB (Rencana Anggaran Biaya). Pada umumnya RAB digunakan untuk mengajukan penawaran pekerjaan borongan, sedangkan RAP digunakan untuk menentukan jumlah material dan tenaga dalam pelaksanaan pembangunan.

Kemudian setelah jumlah duit berhasil diketahui, maka kontraktor dapat melangkah ke pembuatan kurva S. Untuk contoh mudahnya saya ambilkan dari proyek yang kapasitasnya kecil (gue belum dapat persetujuan untuk mempublikasikan RAB, RAP dan kurva S proyek yang gue gunakan sebagai obyek Proyek Akhir. Sori…).

Tapi sebelum itu, mari kita kenal dulu apa itu kurva S atau dalam bahasa kerennya disebut S-Curve. Kurva S secara grafis adalah penggambaran kemajuan kerja (bobot %) kumulatif pada sumbu vertikal terhadap waktu pada sumbu horisontal. Kemajuan kegiatan biasanya diukur terhadap jumlah uang yang telah dikeluarkan oleh proyek. Perbandingan kurva “S” rencana dengan kurva pelaksanaan memungkinkan dapat diketahuinya kemajuan pelaksanaan proyek apakah sesuai, lambat, ataupun lebih dari yang direncanakan.

Bobot kegiatan adalah nilai persentase proyek dimana penggunaannya dipakai untuk mengetahui kemajuan proyek tersebut.



Misalnya sebuah proyek memiliki bobot pekerjaan seperti pada tabel di bawah ini.



Maka perhitungan bobot kegiatan (2), beton/dinding adalah:



Setelah mendapatkan bobot kegiatan, selanjutnya adalah membuat tabel bar chart dan bobot kegiatan yang didistribusikan ke setiap periode kegiatan. Misalnya, kegiatan beton/dinding akan dilaksanakan selama enam minggu, maka bobot kegiatan beton/dinding per periode adalah:



Hasil setiap periode dijumlahkan dan selanjutnya bobot per periode ditambahkan periode sebelumnya sehingga akhir proyek akan mencapai bobot 100 %. Selanjutnya, dibuatkan kurva dengan memplot nilai bobot per periodenya, seperti pada gambar di bawah ini.



klik untuk perbesar


Banyak orang bingung tentang bagaimana mengalokasikan waktu untuk tiap-tiap jenis kegiatan pekerjaan (dalam gambar tertera bahwa pekerjaan beton/dinding dialokasikan menjadi 6 minggu). Mungkin bagi para ahli manajemen proyek, ini bukan hal yang sulit namun bagi gue hal ini cukup membuat gue tidak bisa tidur semalaman.

Untuk mengalokasikan waktu dari sebuah pekerjaan kita dapat menggunakan cara volume pekerjaan dinding keseluruhan harus dibagi dengan kecepatan konstruksi material batu bata merah, yaitu 6 – 8 m2/hari.

Jika dalam pembuatan Time Schedule waktu dibagi menjadi per minggu, maka hasil pembagian volume pekerjaan dengan kecepatan konstruksi harus dibagi dengan tujuh hari dalam satu minggu.

Misalnya pada contoh proyek pada lantai satu memiliki volume pekerjaan dinding sebesar 51 m3. Maka langkah untuk menghitung alokasi pekerjaan, pertama adalah konversi satuan volume dari m3 menjadi m2, karena 1 m3 sama dengan 6,7 m2 (tebal bata pada umumnya), maka:

51 m3 x 6,7 = 341,7 m2

Kemudian satuan luas yang didapat dari konversi volume pekerjaan dibagi dengan kecepatan konstruksi dinding menggunakan pasangan batu bata merah:



Jika dalam time schedule waktu pelaksanaan didistribusikan menjadi satuan minggu, maka jumlah hari yang diperoleh harus dibagi dengan tujuh hari:



Jadi jika bobot pekerjaan dinding batu bata merah misalnya 5,787 %, maka persentase tersebut harus dibagi dengan jumlah minggu yang ditemukan. Kemudian hasilnya dimasukkan pada chart pada time schedule dalam satuan persen yang telah ditemukan, yaitu 0,965 %.



Nah, sekarang sudah dapat kita ketahui darimana angka 0,965 di gambar time schedule di atas dan bagaimana cara alokasi waktu enam minggu untuk pekerjaan beton/dinding.

Semoga post ini bermanfaat bagi teman-teman sekalian. Pada post berikutnya gue janji akan membagikan Proyek Akhir gue pada teman-teman sekalian. Tentunya kalau Proyek Ahir gue sudah diuji. Gue harap teman-teman sudi memberikan kritik dan saran.(download laporan Proyek Akhir saya di sini)

NB: Sebagai referensi teman-teman dapat unduh file contoh perhitungan RAB dan pembuatan kurva-S (klik disini).

Thursday, July 28, 2011

Make CRM Success

How to Make Your CRM a Success

“We use our CRM as an expensive contact manager and inaccurate forecasting system.”

That’s what a client of ours said after an expensive project to install a well-known CRM.  And if that sounds familiar, you are probably in good company.  Forrester Research reported that in 2009, the failure rate of CRM was 47%! 

Far and away the number one reason that businesses give for the failure of CRM is that it does not align with their business processes: The technology does not support the necessary needs of people who use it, forces people to utilize processes they do not need, and is difficult to use and time consuming, especially for sales people. The net result is that sales operations don’t get the “bang for the buck” they anticipated, nor do they achieve predicted sales goals and productivity gains.  

We believe that process comes first and technology follows.  Our approach, over the past two decades, was to develop our holistic, top-down, metric-driven methodology (i.e., a set of integrated business and sales processes), and then - through the Salesforce.com AppExchange - develop the technology that supports those processes.  In so doing, the Adventace Sales Management System (SMS) provides sales operations with an end-to-end sales management system.  It helps executives better drive their entire sales operation top-down through use of key leading performance metrics.  It helps sales managers better manage sales people and improve their skills, while running a better operation.  Its expert functions make it an indispensable differentiator and time saver for sales people, allowing them to generate key buyer deliverables in minutes while better managing their opportunities.

For Sales Executives
Using operationally critical leading performance metrics, executives are better able to drive their entire sales operation top-down.  These metrics determine the organization’s Goal Vs. Actual performance in real time.  And how’s this for proactive management:  With a simple click, executives can easily drill down into their organization to find out where group or individual performance difficulties exist, then work with management to optimize performance.  

For Sales Managers
To help managers we automated our highly touted 4 Pillars of Sales Management™.  A profile of key functions follows: 



Pipeline Management: Based on well defined, “no wiggle room” opportunity stages, SMS performs a complete pipeline analysis.  It determines a seller’s optimal pipeline goals for each stage and whether gaps exist.  It then provides a color-coded pipeline so managers can make surgical pipeline recommendations.  Forecast Management: A 30/60/90 day forecast is provided, weighted by stage.  


Skill Development: Complete skill development systems are provided to help sellers, sales managers, channel managers, and senior sales managers.  Here, managers grade an individual in each key skill related to their job function.  SMS then provides Personal Development Plans to help managers measurably improve an individual’s performance, helping to unlock their potential.



For Sales People
So, you get back from a great sales call.  You spend all sorts of frustrating time entering data into your CRM because, well, you have to.  Then, rather than spending two or three hours preparing a sell cycle control letter that you know you really need to get to your buyer, instead you decide to hit the phones.  Enter Adventace® SMS.  Now, in a matter of minutes, using our expert system interface, you click a series of selections and generate a sell cycle control letter that summarizes:
·       All key Need Development elements you and your buyer discussed
·       An Action Plan, identifying the sequence of events leading to a buy decision
·       An Impact Tree™, showing the interdependence of the issues between key buyers.
You select the appropriate email template, generate your email, and send it to your buyer, who responds with a call saying, “You understand our business better than we do!”   And you know you have made yourself their first choice!  These are the indispensable functions Adventace SMS provides sales people.  Functions sellers have called, “indispensable”.

Opportunity Assessment

Opportunity Assessment - Part 1 

adventace.blogspot.com

Since the days of the caveman, or more likely the advent of selling, sellers have been confronted with the challenges of finding, working with, and closing sales opportunities. The ‘forces’ that sellers face during the race-to-the-finish include:
· The client
· The competition
· No Decision
· Their Manager
· QUOTA
Because of these ‘forces’, sellers sometimes have great difficulty discerning the good opportunities from the bad. If every salesperson were equally experienced and adept at assessing the quality of their pursuits, there would be no such thing as “Happy Ears”. After hours, days, and weeks of prospecting some suspect finally says: “maybe”. Oddly, the salesperson, in spite of extensive rejection, is the most optimistic person in the company. A “maybe” sounds a lot like a “yes” and our salesperson is on the attack like a dog on a frisbee.
For this very reason, High Performance Sales Environments must depend on the objective, skilled, and surgical Opportunity Assessment of sales managers. Rigorous Opportunity Assessment leads to:
· Identification of gaps, or holes, in an opportunity that, if left unresolved, can come back to haunt the seller down the road after a significant investment of time, effort, and internal resources,
· Agreement to pursue between the manager and seller.
· With that agreement, the manager is then in a position to assign the appropriate milestone, or stage, for the opportunity based on objectivity, not the subjectivity of a seller,
· Identification of very discreet selling-skill difficulties that the seller has. If a skill has been identified as an area for improvement, a plan should then be put in place to drive measurable change. This all assumes there is a well defined sales process in place to manage and measure against.
Conducting high quality Opportunity Assessments not only helps the seller and manager understand the qualification/disqualification level of an opportunity, but if done well, is an opportunity for the manager to model the questioning process that sellers should be having with their prospects.

Sales Pipeline Management


Sales Pipeline Management Part 1 - Introduction

Not atypically, if you take a look at a seller’s - and consequently an organization’s - revenue over the course of a year you will see peaks at the end of each quarter with a substantial peak at the end of the 4th quarter.  This is commonly referred to as a roller coaster ride - which is very much in line with stress levels in the sales operation. 
This is, of course, due to the fact that sellers are trying to do everything they can to achieve quarterly and annual quota objectives, including unnatural acts to close business prematurely. 

And, unfortunately, at the start of each new quarter, and especially the new year, pipelines are barren and people are therefore doomed to repeat this pattern.

Sales pipeline management will resolve these and other related issues.  The purpose of this post is to define what we mean by Sales Pipeline Management, provide the framework for an effective sales pipeline and illustrate its setup, and demonstrate pipeline management by using a Pipeline Balance Algorithm.

Definitions
The Sales Pipeline summarizes by stage all qualified opportunities that are actively being pursued.  It is usually depicted as a funnel.  Qualified opportunities include those from the earliest stage of qualification (“Candidates”, where a seller has conducted a partial sales call and where the buyer has, at minimum, admitted a Critical Business Issue, with a 10% probability of closure) to opportunities that are imminent (“Near Wins with a 90% probability of closure) and recent “Wins”.

The forecast, as opposed to the Sales Pipeline, focuses on near to mid term revenue projections.  It includes opportunities that have anticipated close dates that will occur in the near term (next 90 days) to mid and potentially long term (beyond three months). 




As opposed to the forecast, the Sales Pipeline looks at the broader opportunity set and includes opportunities that are nascent and too early to forecast.  It is normally independent of opportunity close dates and instead focuses on opportunities by stage.  As such, for individual sales people, their managers, and executives it gives a picture of anticipated overall future business.  And, when matched against sales pipeline goals:
·      Provides an important view of both the health of the pipeline and the health of the business,
·      Identifies where gaps exist, and
·      Gives management the ability to take corrective actions early

Sales Pipeline Management is the process of:
·      Establishing pipeline balance expectations/requirements,
·      Monitoring and assessing pipelines against those expectations for both quantity and quality,
·      Identifying gaps, and
·      Putting in place highly specific plans to rapidly achieve balance where gaps exist. 

In Part 2 of Sales Pipeline Management we will provide the framework for an effective sales pipeline and demonstrate pipeline management through use of a Pipeline Balance Algorithm.  Stay tuned!

Sales Pipeline Management Part 2 - The Framework

Lets look at the framework behind Sales Pipeline Management.  Provided in the following table are the Adventace “no wiggle room” Opportunity Stages along with their definitions.  Well-defined surgical Opportunity Stages are the critical foundation to accurate identification of the status of opportunities, Sales Pipeline Management, and forecasting.  They must reflect key events successfully completed between the seller and the buyer organization (such as access to power, identification of a Critical Business Issue and a solution, and the sequence of events leading to a buy decision).  For a detailed review of the stages please refer to our video at http://www.youtube.com/user/AdventaceGlobal.







The flow through the stages is shown in the following diagram.  The T stage involves planning for prospecting, while the S stage reflects the identification of near-term prospects the seller will call.  But opportunities at the C stage represent QUALIFIED OPPORTUNITIES that represent the first stage to be included in the Sales Pipeline.  It is qualified due to the fact that the seller has been able to get the buyer to admit a Critical Business Issue.  Note that a C opportunity ultimately leads to an A opportunity.  The A opportunity is very important because the seller now has a Power Promoter who has agreed to an Action Plan.  A opportunities and, in summary, the A pipeline, are an excellent predictor of win probability (at least 50%) and are thus key in terms of predicting revenue goals and quota achievement.  As we will demonstrate, the value of the A pipeline provides a key metric for assessing pipeline health.  It is also a key to accurate forecasting. 



But note that there are two paths a seller can take to reach the A stage.  We can go directly from C to A, or take the path C to B to A.  Very importantly, we DO NOT want to take the latter, through the B prospect, because this is where sellers get stuck “below the power line”.  And, as we previously explained, this is why many sellers, and ultimately sales operations, fail to achieve their overall goals.  Thus, the B Stage should be minimized.  So it is important for executives and managers to make sure that organizationally they are following the correct processes and metrics to take that direct route.  For a deeper look at this please take a look at our video on performance metrics.


In Part 3 we will demonstrate how to do Sales Pipeline Management through use of a Pipeline Balance Algorithm.  Stay tuned!

Sales Pipeline Management Part 3 - Pipeline Balance Algorithm


Sales Pipeline Setup
Recall that the Sales Pipeline tracks all qualified opportunities, i.e., those that are actively being pursued and where the seller has been able to achieve at least the first level of qualification, a Candidate, because the seller made enough progress with the prospect to get the prospect to admit their Critical Business Issue.  

Shown to the left are the key Adventace opportunity stages for qualified opportunities mapped to a representative Sales Pipeline.  



We believe and teach management that:

·      Each Pipeline Stage provides the total number of active qualified opportunities in that stage.
·      The C and the B Stages do not provide a dollar or other currency value because they cannot be determined with a sufficient degree of accuracy.  At the C stage, the initial sales call has not even been completed.  At the B stage, the seller has not yet gained access to the Power Promoter, nor is there yet an action plan and, therefore, the value here also cannot be determined with a sufficient degree of accuracy.
·      The A Stage is a total of the A and A+ stages.  We differentiate between the A and A+ stages only for forecasting purposes, not pipeline balance, because the A+ stage is simply a set of A prospects with a higher qualification level because the seller has successfully completed certain key steps in an Action Plan.
·      Opportunities in the NL (Near Loss) stage should be minimized.  NL’s represent a failure to properly and early on in a sell cycle to disqualify an opportunity.  They typically occur when various disqualifiers are ignored by the seller, but also a failure on the part of management to exercise “tough love” and remove the “opportunity” from the pipeline.  They also occur when sellers respond to RFP’s they have no business responding to.  This also represents a failure on the part of management to again exercise tough love. 
·      We combine the NW and W because NW is a stage that many opportunities skip (because they go directly to W) or if an opportunity does go to the NW stage, it is normally a short-term interim stage on its way to a W.  Thus, it is not possible or relevant to determine a NW pipeline goal.

The Pipeline Balance Algorithm (PBA)
The purpose of the PBA is twofold:
1.     It helps sellers maintain a continuously balanced pipeline, “24 x 7 x 365” days a year.  It is designed to ensure continuous pipeline balance.  In so doing, when a month, quarter, or year ends, and irrespective of whether or not the seller “made their numbers” for that period, it ensures that the seller enters each period with a fully loaded pipeline. 
2.     The point above ensures that quotas are being met.

Here’s how the PBA works.  Looking at our Sales Pipeline, the concept is that coming out of the bottom of the funnel we want a consistent number of wins with sufficient value to achieve quota (as represented by $Win). 

The PBA works to ensure this via its two key components.  The first component is the value (in dollars or other currency) of the A pipeline.  Why the A pipeline?  If you think about how we clearly defined an A prospect with a 50% probability of becoming a win, the A Pipeline becomes an excellent predictor of $Win.  Therefore, managers calculate the financial value of each of their seller’s A pipeline.

The second component is the number of New Opportunities to Create (NOC) each month to achieve and maintain the $A pipeline.  A NOC is achieved each time an opportunity progresses from a S to either a C (by far the most common), B, or A opportunity each month.

Then, consequently, if there is a gap in the $A pipeline managers are shown how many additional NOCs are needed for the upcoming month to alleviate the $A gap as quickly as possible.  If managed closely, most can in fact be eliminated in one or potentially two months.

Note, as shown below, that this entire process (determination of the PBA, gap identification, and NOC’s to eliminate the gap) is completely automated in our Adventace SMS application.  

And, by achieving his or her $A pipeline goal, sellers are able to consistently eliminate the roller coaster ride and achieve their quota.

COBIT

apa itu COBIT ?

**mamayukero.wordpress.com
COBIT, untuk orang yang berlatar belakang IT atau auditor IT sudah tidak asing lagi didengar. Control Objectives for Information and related Technology (COBIT) adalah suatu panduan standar praktik manajemen teknologi informasi yang dimana menjadi sekumpulan dokumentasi best practices untuk IT governance yang dapat membantu auditor, manajemen dan user untuk menjembatani gap antara risiko bisnis, kebutuhan kontrol dan permasalahan-permasalahan teknis.
COBIT dikembangkan oleh IT Governance Institute, yang merupakan bagian dari Information Systems Audit and Control Association (ISACA). COBIT memberikan arahan ( guidelines ) yang berorientasi pada bisnis, dan karena itu business process owners dan manajer, termasuk juga auditor dan user, diharapkan dapat memanfaatkan guideline ini dengan sebaik-baiknya.
Kerangka kerja COBIT ini terdiri atas beberapa arahan ( guidelines ), yakni:
Control Objectives: Terdiri atas 4 tujuan pengendalian tingkat-tinggi ( high-level control objectives ) yang tercermin dalam 4 domain, yaitu: planning & organization , acquisition & implementation , delivery & support , dan monitoring .
Audit Guidelines: Berisi sebanyak 318 tujuan-tujuan pengendalian yang bersifat rinci ( detailed control objectives ) untuk membantu para auditor dalam memberikan management assurance dan/atau saran perbaikan.
Management Guidelines: Berisi arahan, baik secara umum maupun spesifik, mengenai apa saja yang mesti dilakukan, terutama agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
  • Sejauh mana Anda (TI) harus bergerak, dan apakah biaya TI yang dikeluarkan sesuai dengan manfaat yang dihasilkannya.
  • Apa saja indikator untuk suatu kinerja yang bagus?
  • Apa saja faktor atau kondisi yang harus diciptakan agar dapat mencapai sukses ( critical success factors )?
  • Apa saja risiko-risiko yang timbul, apabila kita tidak mencapai sasaran yang ditentukan?
  • Bagaimana dengan perusahaan lainnya – apa yang mereka lakukan?
  • Bagaimana Anda mengukur keberhasilan dan bagaimana pula membandingkannya.
The COBIT Framework memasukkan juga hal-hal berikut ini:
  • Maturity Models – Untuk memetakan status maturity proses-proses TI (dalam skala 0 – 5) dibandingkan dengan “the best in the class in the Industry” dan juga International best practices
  • Critical Success Factors (CSFs) – Arahan implementasi bagi manajemen agar dapat melakukan kontrol atas proses TI.
  • Key Goal Indicators (KGIs) – Kinerja proses-proses TI sehubungan dengan business requirements
  • Key Performance Indicators (KPIs) – Kinerja proses-proses TI sehubungan dengan process goals

COBIT dikembangkan sebagai suatu generally applicable and accepted standard for good Information Technology (IT) security and control practices . Istilah “ generally applicable and accepted ” digunakan secara eksplisit dalam pengertian yang sama seperti Generally Accepted Accounting Principles (GAAP).
Sedang, COBIT’s “good practices” mencerminkan konsensus antar para ahli di seluruh dunia. COBIT dapat digunakan sebagai IT Governance tools, dan juga membantu perusahaan mengoptimalkan investasi TI mereka. Hal penting lainnya, COBIT dapat juga dijadikan sebagai acuan atau referensi apabila terjadi suatu kesimpang-siuran dalam penerapan teknologi.
Suatu perencanaan Audit Sistem Informasi berbasis teknologi (audit TI) oleh Internal Auditor, dapat dimulai dengan menentukan area-area yang relevan dan berisiko paling tinggi, melalui analisa atas ke-34 proses tersebut. Sementara untuk kebutuhan penugasan tertentu, misalnya audit atas proyek TI, dapat dimulai dengan memilih proses yang relevan dari proses-proses tersebut.
Lebih lanjut, auditor dapat menggunakan Audit Guidelines sebagai tambahan materi untuk merancang prosedur audit. Singkatnya, COBIT khususnya guidelines dapat dimodifikasi dengan mudah, sesuai dengan industri, kondisi TI di Perusahaan atau organisasi Anda, atau objek khusus di lingkungan TI.
Selain dapat digunakan oleh Auditor, COBIT dapat juga digunakan oleh manajemen sebagai jembatan antara risiko-risiko TI dengan pengendalian yang dibutuhkan (IT risk management) dan juga referensi utama yang sangat membantu dalam penerapan IT Governance di perusahaan.

Perkembangan OS Mobile

•April 8, 2010 • Leave a Comment
Assalaamu’alaikum Wr Wb. Teknologi sekarang makin cepat berkembang,  Seperti halnya system operasi pada komputer, sistem operasi ponsel adalah software utama yang melakukan menejemen dan kontrol terhadap hardwaresecara langsung serta menejemen dan mengotrol software-soft lain sehingga software-software lain tersebut dapat bekerja. Sehingga suatu system operasi ponsel (mobile operating system) akan bertanggung jawab dalam mengoperasikan berbagai fungsi dan fitur yang tersedia dalam perangkat ponsel tersebut seperti, skedulling task, keyboard, WAP, email, text message, sinkronisasi dengan aplikasi dan perangkat lain, memutar musik, camera, dan mengontrol fitur-fitur lainnya. Banyak perusahaan ponsel yang membenamkan system operasi dalam produknya baik pada PDA, Smartphone maupun handphone. Perkembangan aplikasi atau game selular (mobile content)sangat cepat, perusahaan pembuat mobile Operating System (OS) telah berlomba untuk memasarkan produk-produk mereka dengan menciptakan fungsi-fungsi dan teknologi yang kian hari kian memanjakan pengguna smartphone (selular yang ber-OS) dari segi entertainment dan fungsionalitas penggunaan selular untuk memudahkan tugas sehari-hari. Selain berfungsi untuk mengkontrol sumber daya hardware dan software ponsel seperti keypad, layar, phonebook, baterai, dan koneksi ke jaringan, sistem operasi juga mengontrol agar semua aplikasi bisa berjalan stabil dan konsisten. Sistem operasi harus dirancang fleksibel sehingga para software developer lebih mudah menciptakan aplikasi-aplikasi baru yang canggih. Keunggulan lain dari ponsel yang ber-OS adalah memiliki kebebeasan lebih untuk men-download berbagai aplikasi tambahan yang tidak disediakan oleh vendor ponsel Sistem operasi-sistem operasi tersebut diantaranya adalah :
• Sistem operasi Symbian
• Windows Mobile
• Sistem operasi Palm
• Mobile Linux
• Sistem operasi Blackberry
• Sistem Operasi Android
• Sistem Operasi Maemo
Sistem operasi Symbian
Sistem operasi Symbian adalah sistem operasi yang dikembangkan oleh Symbian Ltd. yang dirancang untuk digunakan peralatan bergerak mobile).Symbian merupakan perusahaan independen hasil kolaborasi vendor-vendor raksasa pada masa itu yakni Ericsson, Nokia, Motorola, dan Psion. Nokia sebagai pemegang saham terbesar dengan angka 47,9 persen. Banyak dari produk nokia ber-OS Symbian. Symbian dipandang lebih unggul karena:
1. Sistem operasi ini sejak awal dirancang khusus untuk ponsel. Berbeda dengan Microsoft dan Linux yang diadopsi dari komputer.
2. Berkat fitur CC+, Java (J2ME) MIDP 2.0, PersonalJava 1.1.1a, dan WAP, Sistem operasi symbian ini sangat terbuka sehingga siapapun bisa mengembangkannya. terbukti banyak beredar aplikasi-aplikasi tambahan untuk OS berbasis Symbian atau platform Java.
3. Symbian menyediakan suatu user interface (UI) framework yang fleksibel, sehingga supaya para vendor bisa menvariasikan produk-produknya. Ada empat jenis UI yang beredar saat ini yaitu: Series 60 (misalnya Nokia N70, N91, Siemens SX1, Samsung D700, D710, Panasonic X700, X800); Series 80 (Nokia N9210, 9210i, 9300); Series 90 (Nokia 7700 dan 7710); UIQ (Sony Ericsson P800, P900, P910, Motorola A920, A925, A1000, A1010). Symbian MOAP (Mobile Oriented Applications Platform), contohnya adalah Mitsubishi D800iDS yang memiliki dual screen yang pengoperasiannya mirip dengan Nintendo DS yaitu 2 screen dan hanya screen bagian bawah yang memiliki fungsi touch screen.
Symbian telah mengeluarkan Operating System untuk smartphone terbaru nya yaitu versi 9.3, Symbian menyatakan bahwa versi 9.3 ini akan lebih mempercepat, mempermurah dan mempermudah para vendor handphone dan para
operator untuk mendapatkan servis dan fasilitas terbaik seperti mendukung WiFi, Firmware update secara online (FOTA), dukungan HSDPA, VoIP melalui IPSec, dukungan secara native untuk Push To Talk, dukungan Java JSR 248, Platform sekuriti yang lebih stabil dan lebih baik untuk memproteksi dari virus dan spam, dukungan untuk fasilitas graphic 3D yang lebih baik (vector floating point).
Windows Mobile
Adalah sistem operasi seluler yang ditawarkan oleh Microsoft. Sistem operasi Windows Mobile dimulai dari
• Pocket PC 2000
• Pocket PC 2002
• Windows Mobile 2003. Memiliki 4 edisi, yaitu : Windows Mobile 2003 for Pocket PC Premium Edition, Windows Mobile 2003 for Pocket PC Professional Edition, Windows Mobile 2003 for Smartphone, dan Windows Mobile 2003 for Pocket PC Phone Edition
• Windows Mobile 2003 Second Edition (Windows Mobile 2003 SE)
• Windows Mobile 5
• Windows Mobile 6, memiliki 3 versi, yaitu : Windows Mobile 6 Standard for Smartphone (phone without touchscreen), Windows Mobile 6 Professional for Pocket PC with phone functionality, dan Windows Mobile 6 Classic for Pocket PCs without cellular radio. Contoh: Eten Glofiish X650 menggunakan Windows Mobile 6.0 Profesional
Versi terbaru yang sedang dikembangkan Microsoft adalah Photon, yang didasarkan pada Windows Embedded CE 6.0 dan diharapkan dapat mengintegrasikan versi smartphone dan Pocket PC. Contoh perangkat yang ber-OS Windows Mobile seperti Audiovox SMT 5600, iMate SP3i, Samsung SCH-i600, Mio 8390, Sagem myS-7, Orange SPV C500, HP iPAQ rw6100, Motorola MPx220, O2 Xphone, dan O2 Xphone II. PDA adalah Acer n30, ASUS My Pal A716, HP iPAQ h5555, dan Mio 558.
Keunggulan yang ditawarkan seperti
1. Sebagian besar teknologi IT (information technology) yang dipakai berbasis Windows, kecocokan dalam hal platform serta ekstensi yang mudah dengan software komputer dipandang bahwa Microsoft dianggap lebih ideal dibandingkan Symbian atau Linux.
2. Windows Mobile menawarkan berbagai fitur unggulan seperti Mobile Blog, GPS, menonton televisi, serta Mobile Database.
Kelemahannyan adalah Windows Mobile bersifat tertutup sehingga sulit bagi software developer independen untuk menciptakan aplikasi-aplikasi baru.
Mobile Linux
Ponsel Linux pertama diluncurkan oleh Motorola pada bulan Februari 2003. Motorola seri A760 yang dirilis pertama kali di Cina ini menggunakan OS kombinasi dari kernel Linux yang didistribusikan oleh software Silicon Valley-based Monta Vista dan software lainnya dari bahasa pemrograman Java Sun Microsystems. Sistem operasi berbasis Linux yang dikembangkan oleh Google adalah Android. Platform software berbasis Linux diantaranya adalah MOTOMAGX dan Qtopia. MOTOMAGX merupakan platform Linux mobile dari Motorola. Produk pertama yang didasarkan pada platform ini adalah ponsel MOTOROKR Z6 dan MOTORAZR2 V8. Qtopia Phone Edition merupakan platform software dan antarmuka untuk Linux, yang dikembangkan oleh perusahaan Trolltech. Qtopia Greenphone, merupakan perangkat pengembangan Linux mobile yang ditujukan untuk berbagai aplikasi baru.
Kelemahannya adalah aplikasi tambahan yang belum banyak beredar, serta Linux dibangun untuk mengoprasikan sistem dengan tenaga besar, sehingga manajemen sumber daya baterai masih kalah efektif dibandingkan OS lainnya.
Kelebihannya adalah Linux sebagai OS yang ideal bagi ponsel karena dukungan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti IBM, Oracle, dan Intel. Selain itu, sistem ini nilai lebih fleksibel dan menawarkan memori yang lebih kecil serta bisa lebih dihemat.
Contoh ponsel ber-Linux OS: Haier N60, Motorola A760, E895, NEC N900iL, dan Samsung SCH-i519. Produk-produk PDA seperti Sharp SL-C3000, Sharp Zaurus SL-C1000, Compaq iPAQ, IBM e-LAP reference design, dan Nokia 770 Internet Tablet.
Sistem operasi BlackBerry
Perusahan telekomunikasi asal Canada, Reserch in Motion (RIM), mengembangkan perangkat komunikasi bergerak. Awalnya produk mereka adalah memproduksi dan layanan penyeranta (Pager) dua arah, namun dalam
perkembangannya perusahaan ini membuat terobosan baru dengan menciptakan pearangkat Blackberry yang terkenal dengan layanan push-email, dan sekarang blackberry berubah menjadi smartphone yang memiliki berbagai fungsi seperti, GPS, internet mobile, serta dapat mengakses Wi-FI. RIM sebagai developer untuk sistem operasi blackberry telah mengeluarkan sistem operasi baru dengan salah satu aplikasi yang tertanam didalamnya adalah Document to Go versi trial buatan DataViz, suatu aplikasi yang memiliki fungsi officeseperti Word to Go, Presenter to Go yang otomatis memiliki Sheet to Go sebagai aplikasi Spreadsheet.
System Operasi Palm
Contoh peproduk yang menanamkan sistem operasi Palm adalah Palm Treo 680 Smartphone ini menggunakan system operasi Palm, yaitu Palm OS 5.4.9 dengan prosesor Intel PXA270, 312MHz. Beberapa fitur yang ditawarkan adalah Pocket Express, Microsoft Media Player, Palm files, PDF viewer, Adobe Acrobat reader, eReader, Pocket Tunes, dan Document To Go.
Sistem Operasi Android
Android adalah sebuah operating system untuk ponsel yang baru saja lahir. Tetapi kehebatannya ternyata sudah membuat banyak produsen ponsel berlomba – lomba untuk memasukkan OS ini kedalam handsetnya. Dan di Indonesia tinggal tunggu waktu saja untuk kebanjiran ponsel Android ini.
Beberapa Vendor ponsel terkemuka yang telah dikonfirmasi akan mulai mengeluarkan ponsel berbasis Android dalam waktu dekat adalah Samsung, Sony Ericsson dan HTC.
Sebagai sistem operasi baru, Android juga disinyalir lebih aman termasuk jika dibandingkan BlackBerry dan windows mobile. Berbagai sistem operasi terdahulu terbukti memiliki celah keamanan yang bisa dimanfaatkan penjahat dunia maya untuk meretasnya. Windows Mobile dan Symbian sebagai pemimpin pasar sistem operasi ponsel, telah banyak menuai virus dan malware.
Dengan bergulirnya Android, banyak kalangan menunggu apakah sistem operasi ini memiliki celah keamanan yang bisa digunakan untuk tujuan jahat. Secara teori, sistem operasi apapun berpotensi terkena virus asalkan beberapa persyaratan mendasar terpenuhi.
Pertama adanya aplikasi pihak ketiga yang banyak ditawarkan oleh pengembang independen, kedua ada bahasa pemrograman yang mudah dipelajari dan dipahami oleh orang lain, dan ketiga pangsa pasarnya harus besar. Jika syarat tersebut belum terpenuhi maka akan relatif sulit untuk menembus Android.
Semakin banyak pengguna sebuah sistem operasi, semakin mudah dikenali dan dicari sisi kelemahannya. Maka Android harus besar terlebih dulu, agar berpotensi terserang virus maupun malware. Android juga menggunakan sistem Java yang penggunanya sangat banyak, namun jika pangsa pasar tidak besar, pembuat virus tidak akan tertarik.
Namun sistem open-source seperti pada Android memiliki kelebihan. Sifatnya yang terbuka dan dapat dikembangkan komunitas IT sehingga penjagaan Android akan lebih besar daripada sistem operasi lainnya.
Sistem Operasi Maemo
Maemo merupakan sebuah perkembangan platform yang bersifat sumber terbuka untuk perangkat-perangkat yang menggunakan sistem Linux, seperti internet tablet, yang mewarisi arsitektur Linux dari sistem operasi Unix. Maemo dibuat melalui komponen sumber terbuka yang digunakan secara luas dengan beberapa tambahan untuk mengintegrasikan kesemuanya dengan baik pada perangkat yang menggunakannya.
Internet tablet merupakan perangkat yang digunakan yang menyediakan desktop pada level PCemail). Perangkat-perangkat tersebut memiliki resolusi tinggi, dengan layar sentuh sensitif berukuran 800 x 480 pixel. Nokia internet tablet menggunakan platform Maemo, yaitu Nokia 770, Nokia N800, dan Nokia N810, dan yang terbaru Nokia N900. yang digunakan untuk service internet.
Sekiranya artikel ini bisa memberikan pengetahuan atau sekedar menambah wawasan kita. Terima kasih semuanya, Wassalaamu’alaikum Wr Wb.

Knowledge Management

Knowledge management strategies that create value


A firm that had invested millions of dollars in a state-of-the-art intranet intended to improve knowledge sharing got some bad news: Employees were using it most often to retrieve the daily menu from the company cafeteria. The system was barely used in day-to-day business activities.
Few executives would argue with the premise that knowledge management is critical—but few know precisely what to do about it. There are numerous examples of knowledge-management programs intended to improve innovation, responsiveness and adaptability that fall short of expectations. Researchers at the Accenture Institute for Strategic Change have been exploring the roots of the problem and have developed a method to help executives make effective knowledge management a reality in their organizations.
Much of the problem with knowledge management today lies in the way the subject has been approached by vendors and the press. Knowledge management is still a relatively young field, with new concepts emerging constantly. Often, it is portrayed simplistically; discussions typically revolve around blanket principles that are intended to work across the organization. For example, companies are urged to emulate knowledge-management leaders such as British Petroleum and Skandia. And most knowledge-management initiatives have focused almost entirely on changes in tools and technologies, such as intranets and Lotus Notes.
These approaches have little relevance for executives contending with the day-to-day reality of running a company. Knowledge management is complex and multifaceted; it encompasses everything the organization does to make knowledge available to the business, such as embedding key information in systems and processes, applying incentives to motivate employees and forging alliances to infuse the business with new knowledge. Effective knowledge management requires a combination of many organizational elements—technology, human resource practices, organizational structure and culture—in order to ensure that the right knowledge is brought to bear at the right time.
Many companies have implemented sophisticated intranets, common repositories and other systems, largely ignoring the complex cultural issues that influence the way people behave around knowledge. By and large, those companies have seen little improvement in their ability to manage knowledge. Too often, companies implement state-of-the-art technology and then discover that culture and behavior are slow to change.
In short, simplistic solutions and “one-size-fits-all” approaches leave executives with little in the way of practical advice about how to transform the entire knowledge-management system. What’s more, this fuzziness makes it difficult for executives to see a clear link between their knowledge-management investments and business value.
To help executives, the Institute has developed a framework that associates specific knowledge-management strategies with specific challenges that companies face. This Knowledge Management Framework is based on the premise that the focus should be placed on the way knowledge is used to build the critical capabilities a company needs in order to succeed—on the core processes and activities that enable it to compete. Enhancing a bank’s know-how in evaluating credit risk, for example, should result in reduced loan losses; improving a consumer products company’s understanding of customer preferences should increase its percentage of successful new products.
The framework begins by assessing and categorizing the way work is done in the core process. Work can be evaluated along two dimensions. First is the level of interdependence involved—that is, the degree to which individuals and organizations need to collaborate and interact. Second is the complexity of work involved—the degree to which employees need to apply their judgment and interpret a variety of information. Using these two factors, the Institute has identified four distinct categories of work, or “work models”:
  • Transaction model, in which there is a low degree of both interdependence and complexity. Work is typically routine, highly reliant on formal rules, procedures and training, and depends on a workforce that exercises little discretion.
  • Integration model, in which there is a high degree of interdependence and a low degree of complexity. Work is systematic and repeatable, relies on formal processes, methodologies and standards, and depends on tight integration across functional boundaries.
  • Expert model, in which there is low interdependence and high complexity. Work requires judgment and is dependent on “star performers.”
  • Collaboration model, in which there is a high degree of both interdependence and complexity. Work involves improvisation and learning by doing, and relies on deep expertise across functions and the use of flexible teams.


Key to Understanding
In general, a given core process can be mapped to one of these four categories. For example, supply-chain management and procurement tend to fit into the integration model; the work in these processes is often routine, and activities generally span multiple functions and organizations. In comparison, marketing and financial management tend to be expert model work, requiring individuals in one functional area to apply their judgment to solve unanticipated problems.
However, it is important to note that there are no hard-and-fast connections between a certain core process and a work model, because the same process can be performed in different ways. Sales, for example, can refer to individuals covering their respective territories (expert model) or to a supplier’s multifunctional team working closely with a customer to maintain retail inventories (integration model). So the key is to understand how work is performed; it is the nature of the work that determines the appropriate knowledge-management approach.
Knowing the work model that’s associated with the core process is important because each model presents its own distinct set of knowledge-management challenges. In the collaboration model, for example, a key challenge is the achievement of breakthrough innovation. To drive such innovation, a company needs to encourage risk-taking and bring together a variety of knowledge domains, such as research, product development, marketing and manufacturing, in order to solve complex problems. At one biotech company, the Institute found that increasingly complicated projects and the need for a growing number of scientific disciplines was making it harder to integrate activities into a coherent whole. Every point in the chain needs to know not just what the links above and below are, but also needs to have some idea of what the whole continuum is.
In the expert model, on the other hand, the organization usually needs to focus on getting results from its star performers. To do so, companies must contend with issues such as attracting and motivating talented individuals and overcoming “silos” of information. For example, at one expert model company studied by the Institute, individuals had a tremendous amount of knowledge about products, but each person rarely knew what the others were doing. In one product area, managers discovered seven redundant research projects.
In essence, the framework allows executives to gain a better understanding of their current knowledge-management practices—which in most companies have evolved in an ad hoc, unconscious manner—and to identify the knowledge-management challenges associated with their core processes. From that specific diagnosis, it is a short step to prescribing specific remedies, because each set of challenges points to a handful of potential knowledge-management strategies.
For example, the challenges in the transaction model are centered on the need to codify knowledge and ensure consistent performance. Possible knowledge-management strategies would therefore include “automation” that embeds knowledge in systems, or perhaps “routinization,” in which knowledge is built into policies and procedures, and training is aimed at standardizing workers’ behavior. In the integration model, where the challenge is to orchestrate activity across various parts of the organization, executives might consider the adoption of standard processes or methodologies that integrate performance across functions. Or they might use softer measures that focus on the use of cross-functional teams, shared goals and feedback systems.

In the expert model, knowledgeable individuals are key. Here, executives may recruit star performers away from other companies, or may choose to focus on programs that develop stars internally through long-term career-progression programs, apprenticeships, mentoring and training. And in the collaboration model, where the challenges revolve around creating breakthrough innovations, the choices may include “action-learning” strategies that encourage discovery through “skunkworks” and pilots, or “knowledge-linking” strategies that focus on learning through consortia and alliances.
The framework also makes it possible to address all elements of the knowledge-management system as a whole—technology, human resource practices, organization and culture—because it focuses executives’ attention on the capabilities their organizations need rather than on component solutions. Also, attention is shifted from broad, vague issues to a well-defined set of challenges that are specific to their business. They have a manageable number of targeted options from which to choose, which makes it easier to formulate an integrated approach to changing organizational structure, technology, human resources and the world culture.

In addition to guiding improvements in today’s core processes, the framework can also be used to help companies evolve and adapt to new conditions. Markets, customers, technology and competition are always changing. To thrive, companies must change over time as well, or their core capabilities may well become core rigidities that lead to obsolescence. As they strive to move in new directions, executives can use the framework to understand the knowledge-management systems that new capabilities will require.
In the silicon-chip industry, for example, the design of new microchip manufacturing processes has always been considered something of an art—a collaborative model type of effort involving a small cadre of experts, extensive experimentation and rapid learning to get it right. Now, however, with most personal computers selling for less than $1,000, chip makers need to move to lower-cost approaches—and to an integration model of knowledge management, where the focus is on standardization, repeatable work and continuous improvement. The framework can help companies envision what their new knowledge-management approach should look like under their new strategy, and plot out a path that will take them there.
At one highly successful financial services company, executives are using the framework to help identify today’s knowledge-management challenges and constraints in the area of product development, and to help shape the company’s approach to tomorrow’s products. Currently, the company develops products under an expert model, with knowledgeable individuals driving the process. Although this model has been appropriate for incremental product development—essentially, enhancements and extensions of existing offerings—it has rarely produced a real product innovation.
The company believes that it may be falling behind in terms of bringing true breakthrough products to market, particularly in the area of eCommerce. Executives want to build on traditional strengths to keep improving existing products, but they also recognize that they will need to take a different approach if the company is to maintain product leadership in its industry. So in the creation of electronic commerce products, the company is considering a move toward the collaboration model and the use of a skunkworks-style operation that relies on multidisciplinary teams and team incentives, rather than individual experts.

Executives are also beginning to experiment with external alliances as a way to bring new knowledge into the company. Using the framework as a guide, the company has been able to gain a sophisticated understanding of how to improve its current knowledge-management systems and, at the same time, develop a sense of how it can manage knowledge to forge new capabilities for the long term.
That kind of evolutionary ability will become increasingly important in the coming years, as the demands of new markets and new competitors drive continuing shifts in corporate strategies. To support those strategies, companies will have to build new capabilities more and more rapidly—and so the ability to manage knowledge to support that change will be critical.
SOURCE : www.accenture.com/Global/…and…/Knowledgevalue.htm

Kontrak atau persetujuan sama dengan perjanjian

HOKUM KONTRAK INTERNASIONAL.

Pengertian kontrak:
Kontrak atau persetujuan sama dengan pengertian perjanjian
Menurut SUBEKTI perjanjian adaahsuatu peristiwa dimana ada seseorang yang berjanji kepada seorang lainatau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan keweajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi.
Menurut Yahta M Harahap perjanjian  adalah suatu hubungan hokum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.
Objek Kontrak
Pokok sebuah persetujuan atau perjanjian adalah prestasi.
Prestasi bias berupa:
1.     Memberikan sesuatu
2.    Berbuat sesuatu
3.    Tidak berbuat sesuatu
Persyaratan objek suatu kontrak:
1.     Objeknya hrus tertentu tau dapat ditentukan
2.    Dibolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku
3.    Tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan tata susila
4.    Prestasi harus benar-benar rill agar benar-benar dapat dilaksanakan
Subjek hokum kontrak:
1.     Orang (Natuurlijk person) yang sudah dewasa
2.    Badan hokum (recht persoon) yang memenuhi syarat formal suatu badan hokum
Dala suatu perjanjian yang dapat menjadi subjek hokum adalah individu dengan individu atau pribadi dengan pribadi, badan hokum dengan badan hokum
Prinsip dan Klausul dalam hokum Kontrak:
1.     Asas kebebasan berkontrak
2.    Asas konsensualitas
3.    Asas kebiasaan
4.    Ass peralihan resiko
5.    Asas ganti kerugian
6.    Asas kepatutan (equity Principle)
7.    Asas ketepatan waktu
8.    Asas keadaan darurat (force Majeure)
9.    Klausul pilihan hokum
10.  Klausul penyelesaian perselisihan
Ad.1 para pihak berhak menentukan apa saja yang ingin mereka sepakati sekaligus apa yang tidak ingin dicantumkan dalam naskah perjanjian, tetapi bukan berarti tanpa batas.
Asas kebebasan berkontrak diatur dalam pasal 1338 yang dirumuskan sebagai berikut:
1.     Semua persetujuan yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.    Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembal selain dengan sepakat kudua belah pihak, atau karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu
Ad.2 perjanjian timbul karna adanya consensus atau persesuaian kehendak para pihak.. jadi sebelum tercapainya kata sepakat, perjanjian tidak mengikat.
Konsensus tidak boleh ditaati jika:
1. Adanya paksaan
2. Adanya penipuan
3. Adanya kekeliruan akan objek kontrak
Ad.3 suatu perjanjian tidak mengikat hanya untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dsb tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan yang diikuti masyarakat umum.
Jadi sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, dengan kata lain hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secar diam-diam dimasukan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.
Ad.4. selama tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum
Ad.5 pasal 1365 BW: setiap perbuatan melanggar hokum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut.
Untuk setia perbuatan yang melawan hokum karena kesalahannya mengakibatkan orang lain dirugikan, maka ia harus mengganti kerugian yang diderita orang lain tetapi harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hokum dengan kerugian dimaksud sebab tidak aka nada kerugian jika tidak terdapat hubungan antara perbuatan melawan hokum yang dilakukan oleh pelaku dengan timbulnya kerugian tersebut.
Ad.7 prinsip ini penting untuk menetapkan batas waktu berakhirnya suatu kontrak. Jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati, salah satu pihak telah wanprestasi atau telah melakukan cidra janji yang menjadikan pihak lainnya berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi tersebut.
Ad.8 penting untuk menentukan siapa yang akan bertanggung jawab bila suatu saat ada hal-hal yang diluar kemampuan manusia.
Ad.9 pilihan hokum hanya berlaku pada bidang hokum perjanjian (kontrak). pilihan hokum dapat:
1.     Secara tegas. Maksudnya dengan mencantumkannya dalam kata-kata, kalimat yang dicantumkan dalam kontrak tersebut.
2.    Secara diam-diam. Maksudnya pilihan hokum seperti ini dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan  dan fakta-fakta yang ada pada perjanjian itu sendiri.
Choice of law berlaku pembatasan berikut
1.     Tidak mengganggu ketertiban umum
2.    Bila pemerintah telah mengadakan peraturan khusus yang bersifat imperative tentang objek kontrak apa yang diperjanjikan tersebut.
3.    Dalam hal kontrak kerja tidak diperbolehkan melakukan pilihan hokum.
4.    Para pihak bias memilih hokum Negara ke-3 salkan yang dipilih bukan merupakan hokum yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kontrak yang bersangkutan.
Jika tidak ada pilihan hokum maka untuk mengetahui hokum mana yang dapat dipergunakan bagi kontrak yang bersangkutan yaitu:
1. Lex Loci Contractus atau Lex Loci Solution
Hokum dari tempat dilaksanakannya kontrak tersebut.
Bagaimana bila para pihak tak bertemu secara lanngsung???
a. Teory Pengiriman
Dalam perjanjian perdata yang para pihak tidak bertemu muka dalam mencapai persetujuan bersama yang terpenting adalah sat suatu pihak mengirimkan surat atau pesan lewat pesawat telepon yang berisi penerimaan atas tawaran yang diajukan oleh pihak pengirim, jadi hokum yang erlaku bagi perjanjian tersebut adalah hokum dari Negara si penerima tawaran yang mengirimkannya lewat penerimaanynya.
Contoh:
A(Indonesia) menawarkan suatu bentuk persetujuan ke B(Singapura), lalu B menerima tawaran itu dan mengirimkan surat atau pernyataan penerimaan btawaran lewat telepon. Maka disini berlaku hokum B (Singapura).
Teory ini berlaku untuk Negara-negara Common law.
b. Teory Pernyataan
Penerimaan terhadap penawaran harus dinyatakan (declared).
Surat Pernyaaan Menerima Tawaran harus telah sampai kepada pihak yang menawarkan, dan penerimaan penawaran tersebut harus diketahui oleh pihak yang menawarkan.
Contoh yang serupa dengan diatas maka perjanjian tersebut berlaku hokum Indonesia.
Teory ini berlaku untuk Negara-negara civil law.
2. The Proper Law Of a Contrack (Dicey & Moris)
Dalam menentukan hokum yang berlaku untuk sebuah perjanjian, dapat dilihat dari seluruh bentuk, isi, dan fakta-fakta yang ada disekitar perjanjian tersebut. Dari hal ini kan dapat ditemukan hokum yang berlaku, yaitu hokum dar Negara yng meiliki titik taut/hubungan yang paling erat dan nyata dengan perjanjian itu.
3. The Most Characteristic Connection (Rabel)
Dengan melihat titik taut yang paling mempunyai karakteristik atau paling fungsional dalam perjanjian tersebut. Melihat bagaimana fungsi dari perjnjian yang bersangkutan dan dengan sistem hokum manakah perjanjian tersebut secara fungsional empunyai hubungan. Jadi harus diperhatikan factor sosiologis dari perjanjian tersebut.
Contoh:
1.     Perjanjian jual beli berrlaku hokum si penjual.
2.    Perjanjian mengenai benda tetap berlaku hokum dari Negara dimana benda tersebut terletak.
3.    Perjanjian kontrak kerja berlaku hokum dar tempat dilaksaknnya perjanjian tersebut.
Ad. 10 setiap oersetujuan/kontrak tertulis harus memuat suatu klausul penyelesaian perselisihan diantara para pihak. Hal ini penting untuk menentukan forum panel wasit (rbitrase) atau lembaga peradilan yang memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan perselisihan apabila perselisihan mereka tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua belah pihak
Syarat Syahnya Kontrak
Pasal 1320 KUH-Perdata ada 4 yaitu:
1.     Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kontrak dapat dibatarkan bila ada unsure-unsur seperti:
a.    1324 KUH-Pdt Paksaan
b.    1328 KUH-Pdt Penipuan
c.    1322 KUH-Pdt Kekeliruan
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.    Mengenai ssuatu hal tertentu (Objek Kontrak)
Objeknya harus jelas dan tegas secara rinci untuk menghindari ketidak pastian atau kekeliruan.
4.    Suatu seba yang halal.
Syarat 1 & 2 adalah syarat sunjektif, jika tidak tepenuhi maka kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan.
Syarat 3 & 4 adalah syarat objektif, jika tidak terpenuhi kontrak tersebut batal demi hokum.
PANDUAN DAN TEKNIK
PENYUSUNAN KONTRAK BISNIS YANG IDEAL
Hokum dan masyarakat itu bersifat interdepensi (saling bergantung).
Kedudukan hokum itu sentral, strategis, lintas sektoral.
Fungsi hokum adalah pengayoman (dengan  cita hokum sebagi jiwanya berfungsi konstitutif dan regulative) dengan tujuan:
1.     Perdamaian/stabilitas dinamis
2.    Keadilan (keseimbangan hak dan kewajiban)
3.    Kesejahteraan
4.    Kebahagiaan
Hokum merupakan prasarana non fisik pembangunan nasional
KONTRAK DAN HUKUM KONTRAK
Esensi kontrak adalah janji atau sekumpulan janji yang dapat dipaksakan pelaksanaannya, atau dapat dikatakan sebagai persetujuan yang dapat dipaksakan berlakunya menurut hokum.
Persetujuan adalah pertukaran atau konsiderasi (pertimbangan) janji antar pihak.
Untuk menyelenggarakan kontrak diperlukan persyaratan tertentu. Yaitu:
1.     Persetujuan (manifestasi keinginan bersama atau mutual assent)
2.    Janji yang didukung pertimbangan tertentu (konsideran)
3.    Kapasitan untuk berkontrak
4.    Tidak melanggar hokum
Hokum kontrak internasional adalah sekumpulan ketntuan yang mengatur pembentukan (formation), aktifitas di bidang ekonomi/ industry (performance), dan pelaksanaan (implementation kontrak antara para  pihak, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Tujuannya: melindungi harapan individu (yang sesuai dan dapat dibenarkan oleh hokum), bisnis, dan pemerintah.
BENTUK KONTRAK
1. Standard Contract (perjanjian baku)
Perjanjian yang klausulnya di bakukan dan dibuat dalam formulir.
Tujuan:
a.    Untuk kelancaran proses perjanjian (efisiensi, ekonomis dan praktis)
b.    Untuk keuntungan satu pihak.
c.    Untuk melindungi kemungkinan kerugian akibat perbuatan debitur (yang diberi kredit).
d.    Menjamin kepastian hukum
2. Kontrak Bebas
Pasal 1338 KUH-Pdt tapi harus tetap memperhatikan asas keptutan, kebiasaan, dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1339 KUH-Pdt
3. Kontrak tertulis dan tudak tertulis
Kontrak tertulis dapat dijadikan alat bukti, juga untuk menghindari adanya ketidak pastian akkan kesepakan yang telah mengikat para pihak. Contoh akta (otentik maupun dibawah tangan)
JENIS KONTRAK
1.     Perjanjian timbal balik (contoh Jual beli)
2.    Perjanjian Cuma-Cuma (contoh: hibah)
3.    Perjanjian atas beban (prestasi sebelah pihak)
4.    Perjanjian bernama (diberi nama oleh peraturan perundangan perdata & dagang)
5.    Perjanjian tidak bernama
6.    Perjanjian campuran (contractus sui generis)
7.    Perjanjian Konsensualitas.
Contoh Perjanjian Bernama yang diatur KUHPdt & KUHD:
1.     Perjanjian Jualbeli
2.    ————–Tukar menukar
3.    ————–Sewa menyewa
4.    ————–untuk melakukan pekerjaan, pemborongan dll
5.    ————–Persekutuan
6.    ————–Hibah
7.    ————–Penitipan barang
8.    ————–Pinjam pakai
9.    ————–Pinjam-meminjam
10.  ————–Bungan tetap
11.   ————–Untung-untungan
12.  ————–Penanggungan
13.  ————–Perdamaian
14.  ————–Asuransi
15.  ————–Pengangkutan
16.  Pemberian kuasa
Contoh Perjanjian Bernama diluar KUHPdt & KUHD:
1.     Perjanjian Keagenan
Penyaluran barang pada konsumen dengan system komisi yang diberiakan oleh produsen/principle.
2.    Perjanjian Distributor
Pembelian barang dari produsen untuk dijual pada konsumen untuk keuntungan dan tanggung jawab sendiri.
3.    Perjanjian Pembiayaan
Badan usaha yang bergerak dalam penyediaan dana dan barang modal tetapi tidak menarik dana secara langsung dari konsumen.
4.    Perjanjian Kredit
Contoh bentuk Kontrak Internasional:
1.     Joint venture
2.    Joint enterprise
3.    License agreement
4.    Kontrak karya
5.    Franchising agreement
6.    Technical assistance agreement
7.    dll
PROSEDUR DAN TAHAPAN PENYUSUNAN KONTRAK
1. Prapenyusunan Kontrak
a.    Identifikasi para pihak
Untuk mengetahui apakah para pihak yang benar-benar mempunyai full power sebagai refresentatif dari perusahaan yang bonafide atau tidak
b.    Penelitian permulaan
Diteliti beberapa aspek yang berkaitan dengan kondisi politik dalam negeri para pihak, system hokum, dampak social, dan aspek ekonomi.
c.    Pembuatan MOU (Memorandum of understanding)
d.    Perudingan (negosiasi)
2. Penyusunan Kontrak
a.    Pertemuan para pihak yang akan saling mengikatkan diri
b.    Perundingan atau negosiasi pendahuluan
c.    Pembuatan MOU (dalam praktik dapat dilampaui)
d.    Perumusan naskah kontrak (draft articles)
e.    Perundingan atau negosiasi lajutan
f.     Pembahasan naskah akhir kontrak (informal drafting text)
g.    Penandatangan naskah kontrak (formal drafting text)
3. Pasca Penyusunan Kontrak
a.    Melaksakan isi kontrak
b.    Menafsirkan kontrak (bila terdapat kalimat yang membingungkan sehingga menimbulkan hambatan untuk mewujudkan maksud dan tujuan para pihak)
c.    Menyelesaikan sengketa.
a). litigasi (melalui pengadilan)
b). nonletigasi (mediasi, arbitrase, atau negosiasi)
DAFTAR PUSTAKA
SYAHMIN AK.,S.H.,M.H. “HOKUM KONTRAK INTERNASIONAL”. Rajawali Pers: 2006