Seorang teman lama (maksudnya, berteman sejak SMP sampai sekarang), menceritakan salah satu pengalamannya di kantor. Sebut saja namanya teman saya itu Melin (tanda diakhiri ‘da’ di namanya lho yaa heheee….). Melin menceritakan pengalamannya mengalami “bullying” di kantor tempatnya bekerja. Ups, apaan tuh bullying?
Bullying diartikan secara sederhana yaitu adanya tekanan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, menurut Budi Setiawan Muhammad, pakar psikologi UNAIR, ketua Divisi Riset dan Konsultasi LP3T UNAIR. Munculnya suatu dominasi interaksi seseorang untuk ‘menjatuhkan’ mental dan fisik orang lain, adalah salah satu praktek bullying. Saat Anda menghadap atasan Anda dengan perasaan was-was karena selalu saja Anda dimarahi dengan alasan tidak jelas, atau Anda mengetahui ada rekan yang membicarakan keburukan Anda di belakang, atau Anda tidak diberikan kesempatan untuk mengemukakan ide atas suatu proyek pekerjaan di kantor, saat itulah Anda menjadi korban bullying. Sebaliknya, mereka yang melakukan hal diatas, yang menyebabkan Anda tertekan, takut dan merasa kecewa, mereka adalah pelaku bullying. O..oow… serem juga ya. Tapi itu nyata dan terjadi!. Bullying bisa terjadi dimana saja. Bukan saja di kantor, bullying tanpa batasan bisa terjadi di sekolah, organisasi masyarakat, bahkan di keluarga. Nah… saat Anda membacanya sampai disini, saya yakin Anda sedang mengingat-ingat, apakah Anda pernah menjadi korban atau pelaku bullying. He..heee… benar kan?

Kembali ke kisah Melin. Melin menceritakan kisahnya ketika ia pindah ke kantor yang baru. Ada salah seorang rekan kerjanya menjelek-jelekkan dia ke atasan Melin. Bukan hanya sampai disitu, rekan Melin ini di depan Melin bersikap sangat manis dan baik hati, tapi ketika Melin sedang tidak ada di tempat, rekan kerja ini senang sekali memeriksa berkas-berkas di meja Melin, bahkan kadang-kadang memeriksa e-mail kantor jika komputer Melin masih dalam posisi standby. Hiiii… ngeri ya? Tapi ini nyata lho. Melin sendiri tidak mengerti kenapa rekan kerjanya berbuat seperti ini. Dia belum bisa memergoki rekan kerjanya ketika membongkar dan memeriksa berkas-berkas kerjanya, sehingga Melin tidak bisa menegurnya. Melin hanya mendapatkan informasi dari rekan lainnya yang bisa dia percaya. Atasan Melin juga pernah menginformasikan kepada Melin agar lebih berhati-hati dengan rekan yang melakukan bullying itu.
Sedih, kecewa, bingung… itulah yang dirasakan Melin. Dia tidak bisa berbuat banyak. Apalagi Melin lebih mementingkan pertemanan dan sangat fokus dalam pekerjaannya, daripada meributkan kelakukan rekannya. Melin tidak pernah tahu alasan dan motif rekannya melakukan semua itu. Melin memang memiliki pangkat yang lebih tinggi dari rekannya, namun dia bukan atasan langsung. Setelah beberapa minggu dan kelakukan rekannya itu tidak berubah, Melin tentu saja merasa gerah.
Kepada saya, Melin menanyakan apa yang sebaiknya dia lakukan. Hmmm… terus terang jawaban yang saya berikan ke Melin tidak bisa cepat. Agak lama kemudian hanya menyarankan kepada Melin, agar dia menjauhi rekannya itu, mematikan komputernya ketika Melin tidak berada di tempat, atau memberikan password di screen saver-nya, dan menaruh semua berkas-berkasnya di laci dan menguncinya sehingga meja kerja Melin benar-benar bersih tanpa berkas ketika Melin tidak berada di kantor. Kebetulan karena pekerjaan Melin dan rekannya tidak terlalu berhubungan langsung, jadi berkurangnya komunikasi diantara keduanya tidak berpengaruh signifikan dalam pekerjaan. Kenapa saya menyarankan hal tersebut? Menurut saya, jika Melin tetap sering berkomunikasi dengan rekannya yang selalu bersikap manis di depan Melin namun menusuk Melin dari belakang, hal ini tentu akan menambah perasaan kecewa Melin. Dengan mengurangi intensitas komunikasi, setidaknya Melin tidak terlalu kecewa dan memikirkan dengan “topeng” rekannya ini. Suatu saat, bisa saja rekannya ini bertanya mengapa Melin seolah menjauhi dia, dan Melin bisa saja menjawab dia sedang fokus dengan pekerjaan lain atau alasan lain yang elegan, tanpa membuat rekannya ini bertambah aktif dalam melakukan bullying. Melin memang saya sarankan untuk berperilaku “berlebihan” dengan mematikan dan membuat password komputer serta menaruh semua berkasnya dalam keadaan terkunci. Perilaku ini tentu sedikit bertentangan dengan gaya Melin yang saya tahu sangat easy going dan mudah percaya dengan orang lain. Tapi, demi mengurangi pikiran yang mengganggu karena ulah rekan kerjanya, mau tidak mau, suka tidak suka, Melin saya beri solusi yang baginya “aneh” tersebut.
Sepertinya jawaban saya ke Melin bukannya solusi terbaik. Tapi saat ini, itu yang sempat terpikir oleh saya. Memasang CCTV untuk memergoki rekan Melin ketika sedang memeriksa berkas dan komputer Melin tentu bukan solusi yang baik. Meminta klarifikasi si pelaku bullying terhadap informasi yang disampaikan Atasan (pelaku bullying menjelek-jelekan Melin di depan Atasannya) dan rekan kerja Melin lainnya,juga bukan solusi yang baik, bahkan bisa memperkeruh dan membuat masalah baru.
Ternyata tidak gampang juga ya mengatasi bullying ini. Banyak yang akhirnya memilih resign dan pindah ke kantor lain daripada bercapek-capek mengatasi si pelaku bullying. 
Bagaimana, apakah Anda pernah mengalami bullying di tempat kerja Anda? Semoga Anda bisa memilih solusi terbaik untuk mengatasinya.
Ada banyak lagi contoh bullying yang terjadi di kantor. Di lain kesempatan, akan saya sharingkan lagi disini.