Pada suatu hari, seorang pengusaha jatuh miskin karena perusahaannya bangkrut akibat krisis ekonomi yang tengah melanda negaranya. Seisi rumah si pengusaha menderita karenanya. Mereka tidak lagi dapat hidup enak dan mewah seperti dulu. Kondisi telah berbalik 180 derajat. Suasana rumah tidak lagi hangat dan ceria. Wajah penghuni rumah selalu saja muram, lesu dan sesekali gurat-gurat kesedihan nampak jelas di wajah mereka.
Suatu sore, pengusaha dan ketiga anaknya pulang dari bepergian keluar rumah untuk menenangkan pikiran masing-masing. Sebelum masuk rumah, mereka sudah harap-harap cemas dan bertanya-tanya, makanan apa yang disediakan oleh Ibu mereka di meja makan.
Mereka memasuki rumah dengan berjalan perlahan-lahan. Sesampainya di ruang makan, alangkah terkejutnya mereka karena melihat di atas meja makan tersedia makan malam yang amat mewah dan lezat. Layaknya ada pesta besar saja. Melihat makan malam yang luar biasa, pengusaha itu memandang istrinya.
”Bu,” katanya dengan nada tinggi. ”Apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila? Perusahaan sumber nafkah kita ambruk dan penghasilan kita berkurang drastis. Kamu malahan menyiapkan makan malam yang mewah!!”
”Tidak, Pak, tidak. Aku masih waras. Tidak gila,” jawab si istri dengan tenang. ”Sesekali kita harus bergembira. Sejak krisis melanda perusahaan kita, dan kebangkrutan menghampiri kita, kita semua bersedih. Kita menjadi tidak memiliki gairah lagi. Karyawan kita dengan penuh kesadaran memahami kondisi perusahaan kita dan mereka sanggup diberhentikan tanpa pesangon. Kita memang sedang menghadapi keadaan yang sulit, tetapi kita tidak boleh tenggelam dalam kesedihan. Yang kita butuhkan sekarang ini adalah kegembiraan dan semangat berjuang, agar mampu menghadapi masa-masa sulit ini dengan tabah dan ikhlas. Bersedih dan berputus asa hanya menambah beban dan tidak akan menyelesaikan masalah.”
Meskipun tidak mudah menerima dan meng-iya-kan perkataan istri dan Ibu mereka, namun untuk sementara seluruh isi keluarga itu menyantap makanan yang tersedia dengan wajah berseri-seri. Tidak ada lagi pembicaraan tentang krisis ekonomi dan kondisi keterpurukan mereka, seperti pembicaraan pada saat makan malam sebelumnya.
Keesokan harinya, ketiga anak pengusaha itu langsung bekerja untuk meringankan beban keluarga. Tidak sekedar mengeluh dan menggerutu. Seusai jam kerja, anak pertama yang sudah bekerjadi sebuah perusahaan, tidak langsung pulang, melainkan bekerja lembur. Sepulang sekolah, anak kedua menjadi tukang parkir. Dan anak ketiga menjadi penjual koran di perempatan jalan.
Sejak saat itu, keadaan rumah kembali seperti dahulu, penuh keceriaan dan semangat. Kendati perusahaan yang mereka banggakan kita sudah berpindah ke tangan pengusaha lain, namun kebahagiaan seperti pada waktu mereka sedang di masa jaya, kini perlahan sudah datang mengisi hari-hari seluruh isi keluarga itu.
(diadaptasi dari tulisan berjudul : Krisis Moneter, dari ”Konferensi Tikus-Tikus : kumpulan cerita”, Agus M. Hardjana)
Sobat, krisis tidak selalu harus menjadi malapetaka dan akhir dari cerita kebahagiaan hidup kita. Krisis dapat menjadi cambuk untuk menyingsingkan lengan baju dan berjuang untuk mengatasinya. Kita tidak pernah sendirian. Selalu ada harapan dan peluang untuk keluar dari masa-masa sulit kita, selagi kita tidak terkurung dalam keluhan dan ratapan, dan mau menjalani dengan ikhlas hati sebuah langkah awal kita yang baru.
Note : tulisan ini pernah dimuat di www.tranceformasiindonesia.com (TI), krn perubahan web TI, tulisan ini tidak bisa diakses lagi. tulisan ini saya posting kembali disini, smg (tetap) bermanfaat….