Semoga bangsa Jepang, walaupun dalam situasi sulit tetap menanamkam semboyan be strong (gambate kudasai?), bisa cepat bangkit kembali, semoga selalu diberi kesehatan, kekuatan dan ketabahan menghadapi hari-hari yang penuh tantangan.
be well,
Dwika
be well,
Dwika
Japan On My Mind: Utopia yang Sedang Berduka
Kagum dan respek, itulah kata yang tepat untuk sikap masyarakat Jepang dalam menghadapi bencana kembar nan dahsyat yang telah menebar kepedihan yang sangat dalam. Karakter mereka yang super disiplin, kooperatif, tertib, dan mengutamakan kepentingan bersama tidak lekang di saat tragedi menghantam.
Kita bisa melihat bagaimana di tengah hawa yang dingin, dengan tertib dan sabar, orang menunggu antrian yang sangat panjang untuk masuk ke supermarket yang persediaan barangnya makin menipis. Mendapatkan jatah air bersih maupun antrian mobil yang sampai mengular di pompa-pompa bensin. Sama sekali tidak terlihat adegan adu otot karena yang di depan tidak akan menyerobot jatah yang di belakang.
Hal itu juga ditegaskan oleh kesaksian para reporter yang terjun di tempat-tempat bencana maupun orang-orang asing di Jepang. Mereka menyatakan kagum dengan sikap masyarakat yang tetap menunjukkan dignity dan grace di tengah penderitaan yang begitu berat. Dimana mereka saling menolong dan bersikap santun satu sama lain. “Zero looting, samasekali tidak ada penjarahan,” demikian kata Cindy Lauper, penyanyi yang popular di tahun 80-an yang saat bencana kebetulan mau pentas di Jepang.
Host acara “Nightly News” di NBC mengatakan bahwa bencana ini telah membuat kita (masyarakat Amerika) makin mengenal budaya orang Jepang. Di acara itu, kemudian ditayangkan laporan dari reporter yang menemui pasangan yang meskipun sudah tua tidak mengharapkan bantuan. “Orang lain juga sama-sama menderita,” katanya. Sebaliknya, mereka malah merebus air dari lelehan salju untuk dibagikan ke para tetangga.
George Takei, aktor Amerika keturunan Jepang yang dikenal lewat serial “Star Trek” merespon kekaguman orang akan sikap masyarakat Jepang di CNN. Menurutnya, orang Jepang memang dididik untuk memiliki tenggang rasa yang tinggi. Sebab, penduduk Jepang padat hingga orang terpaksa tinggal berdekatan. Penjelasan yang hanya menambah simpati karena nadanya sungguh rendah hati.
Pak Takei, seperti para selebritas lainnya, saat ini aktif kampanye menggalang dana untuk membantu Jepang. Ia menuturkan pengalaman masa kecilnya ketika ia dan keluarganya berada di sebuah camp di Amerika. (Sekedar info, setelah Jepang menyerang Pearl Harbour pada PD II, orang- orang Jepang di Amerika di-internir atau ditahan, termasuk keluarga Takei).
Suatu hari, ia ikut ibunya yang membawa adiknya yang sakit untuk mendapatkan pengobatan. Waktu mereka sedang antri, ia ingin ke toilet. Tapi ibunya buru-buru mengatakan “gamang, gamang” (kalau keliru mohon dikoreksi). Istilah “gamang”, menurut Pak Takei, berarti self-restrained atau kemampuan untuk menahan diri serta mempertimbangkan situasi dan orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, Takei kecil sampai mengompol.
Lalu, bagaimana dengan 50 orang yang bertahan di fasilitas reaktor nuklir yang berusaha mati-matian untuk memperbaikinya? Pengorbanan mereka mengingatkan pada tindakan “kamikaze” yang berani mati untuk kemenangan bangsanya.
Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang homogen dengan kode etik moral yang seragam. Bagi yang belum mengenal budaya bangsa Jepang, apa yang disebutkan di atas mungkin terdengar ekstrim. Namun kenyataannya memang demikian, hingga sering membuat pengunjung negeri ini terkagum- kagum dibuatnya, termasuk saya.
Sebelum ke Jepang, saya telah mendengar cerita dari teman-teman bahkan kakak saya sendiri yang sudah lebih dulu ke sana. Namun sesampai di Jepang, tak urung saya masih terkaget-kaget. Karena masyarakat Jepang ternyata memang sangat disiplin, efisien, santun, pembersih. Rasa kaget tadi, di satu sisi bisa dimengerti. Sebab secara tidak sadar, orang Indonesia umumnya memiliki kesan yang berlawanan akibat pendudukan Jepang yang meskipun hanya setahun jagung telah meninggalkan trauma karena kekerasan.
Selain itu, kemajuan yang begitu tajam mewarnai pemandangan di Jepang juga menjadi lebih unik karena berdampingan secara harmonis dengan tradisi Timur yang masih kental hingga melahirkan aura yang menyimpan misteri. Saya juga sangat kagum dengan cita rasa seni orang Jepang yang telah memberi definisi baru bagi saya tentang keindahan, yang saya rangkum dengan satu ungkapan yaitu “less is more”.
Jepang, sebagaimana negara-negara maju lainnya, merupakan negara donor yang begitu generous memberi bantuan ke negara-negara yang sedang berkembang. Bantuan itu diberikan dalam berbagai bentuk termasuk grant untuk pendidikan. Kalaulah dibalik bantuan itu ada pamrih, saya pikir wajar saja karena tidak ada yang gratis di dalam kehidupan ini. No free lunch.
Tapi, bagi rakyat biasa tentunya tidak berpikir sampai ke sana, bukan? Yang mereka tahu, kami dari negara sedang berkembang datang atas sponsor pemerintah maupun perusahaan-perusahaan Jepang. Namun sikap mereka, paling tidak orang-orang Jepang dengan siapa saya berhubungan baik dalam pekerjaan maupun pribadi, selalu ramah dan simpatik.
Saya masih ingat seorang Jepang yang saya kenal waktu ia mengunjungi kantor kami di Bandung. Ia wanti-wanti, menyilahkan saya untuk mengontaknya kalau saya ke Jepang. Tapi, waktu saya ke sana, saya tidak langsung mengontak sebab saya agak ragu mengingat kami baru sekali ketemu. Siapa tahu hanya basa- basi.
Namun, tidak lama kemudian, ia mengunjungi universitas tempat saya berada. Ia secara tidak sengaja melihat saya. Saya agak malu sebab kami bertemu lagi karena ketidaksengajaan. Tapi ia tetap ramah. Pada kesempatan itu juga, ia mengundang saya untuk mengunjunginya di universitas tempatnya mengajar, di kota lain.
Waktu saya bersama seorang teman berkunjung, dengan antusias ia mengajak keliling untuk melihat fasilitas peralatan yang sangat bermanfaat bagi kami. Dengan telaten, ia juga menjelaskan serta menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Sebelum pulang, kami masih diajak makan di sebuah restoran tidak jauh dari kampus. Saat berjalan menuju ke restoran, sang associate professor yang masih muda dan simpatik ini juga tidak segan menjelaskan tentang kimono yang menarik perhatian saya. Sebuah kimono yang dipajang di etalase sebuah toko yang kami lewati.
Dan sikap seperti itu ternyata tidak hanya datang dari mereka yang profesinya serupa dengan profesi kami. Karena, waktu kami diajak berkunjung ke pabrik, sikap mereka juga serius. Padahal tidak ada prospek kami akan membeli atau mempromosikan produknya. Sebaliknya, malah pihak yang belajar.
Saya masih ingat waktu mengunjungi sebuah pabrik logam yang memproduksi alat- alat ukur. Mereka memajang bendera Jepang dan Indonesia ukuran mini berdampingan menghiasi meja di depan kami. Kelihatannya ini sudah standar.
Bagi saya dan teman- teman, kedisiplinan dan kesadaran masyarakat Jepang untuk mengutamakan kepentingan umum, sering menjadi perbincangan. Prinsip mereka “satu untuk semua dan semua untuk satu” untuk orang asing kadang sampai terkesan unbelievable.
Waktu itu, di Jepang beredar kabar tentang adanya orang-orang asing yang suka mengakali kartu telfon untuk menambah pulsa. Naik kereta dan membayar minuman pun direka. Seorang teman dari salah satu negara Amerika Latin, teman ngobrol saya tentang budaya Jepang, menanyakan pendapat rekannya seorang Jepang tentang gejala ini.
Si rekan Jepang mengatakan perbuatan semacam ini lebih jahat daripada membunuh. Sekilas kedengarannya aneh, tapi kalau kita telusur lebih jauh, sebetulnya sangat masuk akal. Sebab, segala sesuatu dimulai dari hal-hal yang tampaknya kecil. Dimana kalau ditolerir akhirnya bisa membengkak menjadi budaya korupsi karena orang tidak lagi malu berbuat apa saja untuk kepentingan dirinya sendiri. Akibatnya yang hancur adalah seluruh bangsa.
Mengenai keamanan, sahabat saya dari Thailand pernah mendapatkan kejutan manis. Suatu malam, ia pulang dari sebuah tempat wisata. Kamera dan beberapa roll film miliknya ketinggalan di kereta. Sebagai penggemar fotografi yang fanatik, besoknya ia membeli kamera baru dan merayu saya untuk menemaninya kembali ke tempat wisata itu untuk sekedar memotret. Tapi beberapa hari kemudian, ia mendapat pemberitahuan dari bagian lost and found kameranya telah ditemukan dan diterima utuh seperti sediakala.
Menengok kembali, saya sungguh merasa beruntung pernah mendapat kesempatan untuk mengenal Jepang meskipun hanya permukaannya. Semua yang saya lihat, saya dengar, saya rasakan, saya cicipi, dan aroma yang saya nikmati telah membuat hari-hari saya sungguh menyenangkan. Semua itu menggumpal menjadi kenangan yang tidak terlupakan.
Waktu mendengar berita bencana ini, suami saya seperti membaca pikiran saya. Ia mengatakan kalau situasi sudah mulai membaik, we need to visit Japan again. Karena suami saya juga kagum dengan Negeri Matahari Terbit, yang disebutnya sebagai “utopia”, kalaulah utopia itu memang ada di muka bumi ini. Hingga kami sudah beberapa kali menyempatkan ke sana.
Tapi kapan? Menurut perkiraan Bank Dunia, perlu waktu lima tahun untuk rekonstruksi dan pemulihan (recovery) dengan biaya tidak kurang dari 235 billion (milyar) dolar.
Namun, itu hanya dari segi materi. Bagaimana dampak terhadap manusianya? Para korban yang dulu tinggal di sekitar PLTN, yang sekarang kondisinya belum menentu, mengatakan tidak ingin kembali. Menurut para pakar nuklir, tempat di sekitar PLTN terancam kontaminasi radioaktif yang perlu waktu untuk bisa aman.
Siapa yang menyangka, gempa yang kekuatannya tercacat sebagai terbesar kelima sejak tahun 1900 dan diikuti tsunami, menjadi penyebab bencana buatan manusia (manmade disaster). Bisa dipastikan, kecelakaan di Jepang akan mengangkat kembali perdebatan tentang penggunakan energi nuklir. Yang pro melihatnya sebagai energi yang bersih, tapi faktor (ketelitian) manusianya bisa mendatangkan petaka yang dampaknya panjang.
Saya tercekat setiap melihat gundukan puing-puing yang berserakan. Karena sebelumnya, tempat-tempat itu meskipun padat sangat bersih dan rapi. Penghuninya, tanpa gembar- gembor dan slogan-slogan, telah melakukan keutamaan dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan kesadaran sendiri, mereka merawat lingkungannya secara apik sekaligus menjaga suasananya. Seperti dikatakan Pak Takei dengan berprinsip gamang.
Menurut berbagai pemberitaan, saat ini fasilitas dan suplai keperluan untuk para korban yaitu makanan, obat-obatan dan air bersih masih sangat minim. Ini disebabkan infrastruktur rusak berat sehingga bantuan sulit mencapai lokasi. Semoga pemerintah dan masyarakat Jepang, didukung komunitas internasional, bisa segera mengatasinya sehingga penderitaan para korban bisa diringankan. Berita malam menyebutkan, dengan kemajuan situasi di fasilitas nuklir, fokus pertolongan untuk korban bisa makin ditingkatkan.
Salju bagaikan bulu-bulu angsa melayang-layang sebelum jatuh menyelimuti reruntuhan yang senyap ditinggalkan kehidupan. Saya jadi ingat film Oshin. Dari masa kecil yang penuh derita, kedinginan, kelaparan, dengan keteguhan hati akhirnya bisa bangkit menggapai glory.
Semoga bangsa Jepang, walaupun dalam situasi sulit tetap menanamkam semboyan be strong (gambate kudasai?), bisa cepat bangkit kembali. Seperti tekad seorang nenek yang rumahnya tinggal puing-puing. “Saya sudah tua, tapi anak cucu saya akan membangunnya kembali dengan lebih bagus lagi,” katanya.
Untuk semua KoKiers di Jepang, semoga selalu diberi kesehatan, kekuatan dan ketabahan menghadapi hari-hari yang penuh tantangan.
Salam,
Sri R.
No comments:
Post a Comment