be well,
Dwika
**sd-10807.dedibox.fr
“Ayah saya dulu (akhir 60an - awal 70an) sebagai Kepala Sekolah SD di kampung meminta semua siswa setiap berangkat sekolah memungut sebuah cumplung — kelapa berlubang dimakan tupai. Setelah cukup terkumpul dijual untuk bahan bakar pembuatan genteng,” kenang Rahmat Samsurizal, mengenai bagaimana inisiatif guru mendidik muridnya agar bisa bermental pengusaha. Inisiatif-inisiatif lain yang mudah dikerjakan, yang nyaris tanpa modal uang, juga dilakukan. “Tidak heran jika SD kami kemudian punya kolam ikan, ternak kambing, ternak ayam, kebun bengkoang dan kebun sayuran,” kata jebolan Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada. “SD kami pun akhirnya menjadi percontohan untuk daerah Kedu Selatan,” lanjutnya. Tidak heran pula jika teman kuliah saya dulu itu kini juga memilih jalan hidup sebabagai pengusaha.
Ini adalah salah contoh pendidikan wirausaha sejak dini.
Saya pun jadi teringat jaman kecil dulu. Sejak SD saya dan adik-adik sudah biasa mendapat tugas untuk belanja kebutuhan keluarga. Mereka yang sekolah siang mendapat tugas belanja ke pasar, membeli kebutuhan sehari-hari, termasuk membeli sayur, beras, ikan dan tetek bengeknya. Tanpa sadar, dari situlah kami mengenal namanya pasar dan dunia tawar menawar. Kami bisa pula belajar bagaimana memahami produk yang bagus atau jelek. Cara memilih ikan bandeng misalnya, dengan membuka insangnya, jika masih merah menyala itu tandanya masih segar. Dan jangan lupa dibaui dulu, apakah tercium aroma lumpur atau tidak.
Kami juga dibiasakan untuk membuka etalase toko “taylor” — penjahit — di pagi hari sebelum penjahit khusus kami berdatangan. Ayah memang dulu pengusaha “taylor” yang punya spesialisasi di jas. Upacara pagi kami selanjutnya adalah membersihkan kaca etalase, menyapu lantai agar sisa-sisa potongan kain tidak berserakan di lantai. Ketika SMP kebetulan saya masuk siang, sehingga paginya betul-betul dimanfaatkan untuk bekerja (yang buat saya sesungguhnya bersenang-senang). Saya belajar mulai dari yang paling sederhana: menyeterika baju. Kemudian naik pangkat memasang kancing. Saya ingat betul bagaiman jari manis saya mesti dibungkus kain atau dikubahi logam untuk mendorong jarum ke sela-sela kancing baju. Dari situlah kemudian meningkat menjadi pengukur baju.
Salah satu yang tidak akan saya lupakan adalah hari Jumat. Itulah hari gajian para penjahit kami. Gaji mereka memang mingguan, dan dihitung berdasarkan kemampuan produksi masing-masing. Yang rajin dan pintar dapat banyak. Yang biasa saja ya dapat sesuai dengan kemampuannya. Saya pun begitu, dapat honor dari berapa baju yang saya seterika dan saya pasangi kancing. Dari honor itulah saya bisa bermain ke sana kemari dan mentraktir teman-teman SMP nonton bioskop.
Dari hal-hal sederhana seperti itulah orang tua saya mendidik anaknya. Ibu “memaksa” anak-anaknya belanja ke pasar, tidak peduli lelaki maupun perempuan. Sementara ayah “memaksa” anaknya membantu bisnisnya. Tidak mengherankan kalau hampir semua anak-anak tersebut memiliki jiwa kewirausahaan yang lumayan tinggi.
Pengalaman masa kecil saya jelas beda dengan Rahmat Samsurizal. Saya mendapat pendidikan kewirausahaan sejak kecil di keluarga. Sementara Rahmat menyaksikan bagaimana ayahnya yang seorang pendidik menerapkan gagasan-gagasan wirausaha di sekolah.
Namun keduanya memiliki ciri yang sama: memulai dari yang sederhana. Hanya memungut cemplung, hanya belanja di pasar, hanya menyeterika baju, dan hanya hanya lainnya.
Persamaan lainnya adalah: memulai sejak dini. Kami berdua sudah mendapatkannya sejak SD.
Saya yakin, banyak pengusaha yang memiliki latarbelakang dua hal tersebut: memulai dari yang sederhana dan sejak dini.
Tadi pagi, Senin, 18 Mei 2009, saya membaca koran Kompas yang menulis bahwa di dalam UU Badan Hukum Pendidikan disebutkan, Universitas harus mendorong kewirausahaan. Lalu saya membuat diskusi melalui status di Facebook saya dengan mempertanyakan bagaimana cara Universitas memenuhi amanat Undang-Undang tersebut. Terjadi diskusi yang menarik. Namun, setelah Rahmat Samsurizal menceritakan masa kecil di sekolahnya dalam diskusi di Facebook tersebut, saya mengambil kesimpulan, berwirausaha sejak dini jauh lebih manjur ketimbang mulai dari Universitas. Sementara Universitas mencari jalan mendorong kewirausahaan, para orang tua (juga guru sekolah) sebaiknya memberikan suasana kewirausahaan sejak dini.
Ini adalah salah contoh pendidikan wirausaha sejak dini.
Saya pun jadi teringat jaman kecil dulu. Sejak SD saya dan adik-adik sudah biasa mendapat tugas untuk belanja kebutuhan keluarga. Mereka yang sekolah siang mendapat tugas belanja ke pasar, membeli kebutuhan sehari-hari, termasuk membeli sayur, beras, ikan dan tetek bengeknya. Tanpa sadar, dari situlah kami mengenal namanya pasar dan dunia tawar menawar. Kami bisa pula belajar bagaimana memahami produk yang bagus atau jelek. Cara memilih ikan bandeng misalnya, dengan membuka insangnya, jika masih merah menyala itu tandanya masih segar. Dan jangan lupa dibaui dulu, apakah tercium aroma lumpur atau tidak.
Kami juga dibiasakan untuk membuka etalase toko “taylor” — penjahit — di pagi hari sebelum penjahit khusus kami berdatangan. Ayah memang dulu pengusaha “taylor” yang punya spesialisasi di jas. Upacara pagi kami selanjutnya adalah membersihkan kaca etalase, menyapu lantai agar sisa-sisa potongan kain tidak berserakan di lantai. Ketika SMP kebetulan saya masuk siang, sehingga paginya betul-betul dimanfaatkan untuk bekerja (yang buat saya sesungguhnya bersenang-senang). Saya belajar mulai dari yang paling sederhana: menyeterika baju. Kemudian naik pangkat memasang kancing. Saya ingat betul bagaiman jari manis saya mesti dibungkus kain atau dikubahi logam untuk mendorong jarum ke sela-sela kancing baju. Dari situlah kemudian meningkat menjadi pengukur baju.
Salah satu yang tidak akan saya lupakan adalah hari Jumat. Itulah hari gajian para penjahit kami. Gaji mereka memang mingguan, dan dihitung berdasarkan kemampuan produksi masing-masing. Yang rajin dan pintar dapat banyak. Yang biasa saja ya dapat sesuai dengan kemampuannya. Saya pun begitu, dapat honor dari berapa baju yang saya seterika dan saya pasangi kancing. Dari honor itulah saya bisa bermain ke sana kemari dan mentraktir teman-teman SMP nonton bioskop.
Dari hal-hal sederhana seperti itulah orang tua saya mendidik anaknya. Ibu “memaksa” anak-anaknya belanja ke pasar, tidak peduli lelaki maupun perempuan. Sementara ayah “memaksa” anaknya membantu bisnisnya. Tidak mengherankan kalau hampir semua anak-anak tersebut memiliki jiwa kewirausahaan yang lumayan tinggi.
Pengalaman masa kecil saya jelas beda dengan Rahmat Samsurizal. Saya mendapat pendidikan kewirausahaan sejak kecil di keluarga. Sementara Rahmat menyaksikan bagaimana ayahnya yang seorang pendidik menerapkan gagasan-gagasan wirausaha di sekolah.
Namun keduanya memiliki ciri yang sama: memulai dari yang sederhana. Hanya memungut cemplung, hanya belanja di pasar, hanya menyeterika baju, dan hanya hanya lainnya.
Persamaan lainnya adalah: memulai sejak dini. Kami berdua sudah mendapatkannya sejak SD.
Saya yakin, banyak pengusaha yang memiliki latarbelakang dua hal tersebut: memulai dari yang sederhana dan sejak dini.
Tadi pagi, Senin, 18 Mei 2009, saya membaca koran Kompas yang menulis bahwa di dalam UU Badan Hukum Pendidikan disebutkan, Universitas harus mendorong kewirausahaan. Lalu saya membuat diskusi melalui status di Facebook saya dengan mempertanyakan bagaimana cara Universitas memenuhi amanat Undang-Undang tersebut. Terjadi diskusi yang menarik. Namun, setelah Rahmat Samsurizal menceritakan masa kecil di sekolahnya dalam diskusi di Facebook tersebut, saya mengambil kesimpulan, berwirausaha sejak dini jauh lebih manjur ketimbang mulai dari Universitas. Sementara Universitas mencari jalan mendorong kewirausahaan, para orang tua (juga guru sekolah) sebaiknya memberikan suasana kewirausahaan sejak dini.
No comments:
Post a Comment