Search This Blog

Saturday, October 29, 2011

Level yang lebih tinggi

Pemimpin yang seperti itu akan mengantarkan perusahaan ke level yang lebih tinggi. Contoh legendaris adalah Dell Corporation, yang berhasil mengumpulkan 1,5 juta lebih konsumennya di Twitter dan menghasilkan sales sampai US$ 6 juta hanya dari Twitter.
be well,
Dwika



**"Nukman Luthfie"
Awal Desember 2010, kancah perpolitikan dunia diguncang oleh Wikileaks. Situs wistleblower itu merilis ratusan ribu kawat diplomatik rahasia Amerika Serikat. Banyak data-data yang mengguncang dunia sehingga merepotkan AS dan negara yang terlibat. Pantas jika pendiri Julian Assange, warga negara Australia, tak berani muncul ke publik dan menjadi incaran interpol. Bahkan situsnya pun menjadi sasaran serangan DDOS yang bisa mematikan server. Bahkan layanan komersial Internet pun enggan berhubungan dengan Wikileaks. Amazon.com misalnya, tidak mau meng-host situs Wikileaks. Domain wikileaks.org pun dimatikan otoritas resmi penyedia domain di AS, sehingga harus ganti-ganti domain ke negara lain. Bahkan, Paypal pun menghentikan sumbangan Wikilieaks yang ditransfer secara online via jejaring alat bayar online itu.
Respon pelaku bisnis itu diduga keras karena tekanan pemerintah AS dan dunia.Bahkan AS sendiri disinyalir melarang tentaranya membaca Wikileaks. Begitu Wikileaks membocorkan kabel diplomatik rahasia AS, negara adijaya itu segera memberikan penjelasan ke negara sekutunya, serta mencari jalan mengantisipasi penyebarannya. Australia misalnya, secara resmi memelisik Julian, yang memang warganya. Perancis, melarang semua layanan server Internetnya dipakai Wikileaks.
Meski dilawan otoritas resmi negara, Wikilieaks didukung banyak individu. Dalam beberapa hari saja, followernya di Twitter mencapai 380 ribu. Mereka secara aktif ikut menyebarkan apapun yang ditulis Wikileaks di Twitter. Juga, dalam beberapa hari, penggemarnya di Facebook menembus angka 600 ribu fans. Angka ini masih terus bergerak naik.
Pemerintah AS dan sekutunya membenci Wikileaks. Perusahaan yang berdomisili di AS tertekan untuk mendukung langkah pemerintah. Namun, ratusan ribu warganya membangkang di online.
Fenomena di atas tidak hanya terjadi di level global. Di level negara kita pun terjadi. Ketika Presiden Yudhoyono berpidato resmi mengenai polemik bentuk monarki Jogjakarta versus Republik, dengan berdiri di podium berlambang Garuda, dan menggunakan iPad, banyak yang berkomentar miring. Esensi pidato presiden yang menjelaskan soal pernyataannya yang menimbulkan gejolak masyarakat Jogja itu luput dari perbincangan publik. Yang menonjol malah soal presiden menggunakan iPad untuk pertama kalinya di depan publik. Misalnya, ada yang tidak rela logo Apple berada di atas lambang Garuda yang tertera di podium. Padahal ya normal saja meletakkan iPad, yang sedang dibaca presiden, di atas podium. Ada pula yang komentar, via Twitter, “Monarki vs Republik, yang menang iPad”.
Presiden memang sedang menjadi sasaran empuk di Twitter. Apapun langkahnya, hampir selalu menuai kritik. Tatkala SBY berkantor di Yogyakarta agar lebih dekat dengan lokasi bencana Merapi, masih ada yang mengkritik “mengapa hanya tiga hari”, “mengapa berada di dalam gedung” dan lainnya. Di Twitter, lebih mudah menemukan kritikan daripada pujian kepada SBY.
Bukan hanya presiden, menteri pun menjadi sasaran kritik pengguna Twitter. Awal Mei 2010, ada pengguna Twitter yang kesal melihat mobil menteri masuk jalur busway di saat yang lain kena macet di jalur biasa. Segera ia memotret mobil itu, dengan plat nomornya, dan disebarkan via Twitter. Dan ternyata itu mobil dinas Menteri Sosial Salim Segaf Aljufrie. Segera saja tweet mobil menteri menerobos jalur bus Trans Jakarta itu menyebarluas via Twitter dan akhirnya terpantau media tradisional dan menjadi berita hangat di berbagai media cetak, radio dan teve. Seorang menteri yang harusnya memberikan contoh, malah melanggar hukum.
Salim Segaf segera bereaksi positif, secara jantang mohon maaf ke publik dan mendatangi Polsek Metro Mampang untuk klarifikasi dan siap ditilang. Respon cepat dan positif secara pribadi juga disampaikan via Twitter resmi Salim Segaf ini disambut baik dan diberitakan di media tradisional, sekaligus disebarkan oleh pengguna Twitter lain.
Coba ganti kata “pemerintah”, “presiden”, dan “menteri” dengan kata “produsen”. Ganti pula kata “warga” dengan konsumen. Produsen tidak lagi bisa mendikte suara konsumen, baik di level global, regional maupun domestik!
Sebuah riset yang dilakukan Edelman tahun 2010 menunjukkan, merek-merek teknologi yang paling banyak diperbincangkan di social media Indonesia adalah Google, Indosat, Nokia, Intel, Telkomsel, AMD, Excelkomindo, Asus, Samsung dan Microsoft. Apakah mereka diperbincangkan secara positif semua. Tentu saja tidak. Coba search kata Indosat, Telkomsel dan Excelkomindo di Twitter, Facebook dan Kaskus, kita akan mendapat gambaran yang sesungguhnya. Pengguna layanan seluler yang kesal karena layanan buruk akan menumpahkan kekesalannya di media sosial. Sekali ditumpahkan, dan dibaca oleh pengguna lain yang juga kesal, akan memperkuat pesan kesal itu karena mereka akan menyebarluaskan pesan itu ke followernya atau temannya.
Semenakutkan itukah media sosial terutama Twitter, Facebook dan blog? Ya. Bagi yang tidak siap. Dan siap atau tidak, itu tergantung pemimpinnya.
Social Media memiliki sisi positif yang jauh lebih banyak ketimbang negatifnya. Tidak usah jauh-jauh mencari contoh di luar negeri. Di dalam negeri saja bergelimpangan banyak contoh positif. JiFFest (Jakarta International Film Festival) misalnya. Ajang film Indonesia pertama terbesar di Asia Tenggara ini sempat terancam batal karena keterbatasan dana. Padahal JiFFEST membawa film-film berkualitas dari berbagai belahan dunia yang tidak mungkin diputar di bioskop umum sampai sekarang. Sampai 2009, Jiffest telah ditonton oleh lebih dari 350 ribu orang, dan telah memutar hampir 1500 judul film dari 40 negara. JiFFest memperkaya khasanah penonton dengan keragaman gagasan dan budaya dari penjuru dunia. Sayang jika hanya karena masalah dana, JiFFEST bubar tahun ini. Maka dibuatlah gerakan SAVEJiFFEST yang disebarluaskan melalui Twitter dan Facebook. Gerakan masif ini memang tidak menghasilkan banyak dana sumbangan individual. Dalam sebulan “hanya” mengantungi Rp 210 juta, dari Rp 1,5 Miliar yang dibutuhkan. Namun panitia yang terharu dengan semangat gerakan itu memutuskan untuk tetap melaksanakan ajang itu awal Desember 2010, dan gerakan SAVEJiFFEST diperpanjang selamanya.
Contoh lain adalah gerakan sosial yang terbentuk secara otomatis via jejaring sosial untuk membantu korban letusan gunung Merapi, tsunami di Mentawai dan longsor di Wasior. Tanpa komando, banyak yang insisiatif sendiri, mengumpulkan dan menyalurkan dana ke tiga wilayah itu. Gerakan untuk korban Merapi kelihatan menonjol dibanding  Mentawai dan Wasior karena masyarakat lebih mudah menyumbang dan mengirimkan bantuan langsung.
Lebih dari itu, sosial media dimanfaatkan untuk menyebarkan berita perkembangan situasi lapangan, menjadi tempat berbagi informasi cepat antar pengguna media sosial (terutama Twitter). Yang tak kalah pentingnya, social media membangkitkan empati untuk para korban melalui penyebaran emosi.
Amerika Serikat sendiri, yang kini terpojok oleh ulah Wikileaks, sebenarnya menikmati efek positif media sosial terlebih dulu. Di Amerika Serikat, jejaring sosial lewat Internet berperan besar terhadap terpilihnya Obama, warga kulit hitam, sebagai presiden Amerika Serikat. Di negara lain, yakni Iran, Twitter menjadi pemasok informasi ke luar negeri tatkala pemerintah memblokir seluruh akses informasi di saat pemilu. Pemerintah mencoba meredam informasi kekerasan pemilu. Namun akhirnya bocor via Twitter meski akses Internet pun diblokir. Banyak yang menyebut saat itu sebagai Revolusi Twitter Iran.
Di luar negara, para seleb pun melakukan gerakan media sosial yang hebat. Dimotori Alicia dan didukung Keys, Ryan Seacrest, Kim Kardashian, Lady Gaga, Serena Williams, Justin Timberlake serta Elijah Wood, para seleb tersebut “mematikan” akun Twitter dan Facebooknya sampai terkumpul US$ 1 juta untuk disumbangkan ke korban AIDS. Melalui program “Keep a Child Alive” mereka benar-benar membisu, tidak akan update apapun, tidak akan merespon apapun di akun Twitter dan Facebook sampai target pengumpulan dananya tercapai.Dan semua itu kuncinya ada di individu. Bukan di korporat. Bukan di pemerintah.
Ini perubahan luar biasa bagi para pemimpin. Dulu, segalanya berpusat di lembaga, perusahaan, pemerintah. Dan di lembaga selalu ada segelintir orang yang disebut pemimpin, yang menentukan warna dan arah kebijakan. Masyarakat dan konsumen hanya menerima
Dengan budget yang luar biasa besar, “pusat” pemerintahan, lembaga dan perusahaan dapat menyetir suara konsumen. Sudah bukan rahasia lagi, eksekutif dan legislatif, dengan budgetnya yang amat besar, seringkali bertindak di luar keinginan rakyatnya. Demikian pula perusahaan, dengan budget pemasarannya yang banyak, mampu mengarahkan suara konsumennya karena keterbatasan media bagi konsumen.
Maka, di era sebelum Internet, terutama sebelum social media, yang terkenal adalah pendekatan mass marketing, yang menganggap semua orang itu sama, dan hanya dipilah-pilah berdasarkan segmentasi jenis kelamin, daya beli dan lokasi. Jika kita membaca koran Kompas, semua pembaca (tidak peduli pria/wanita, miskin/kaya, juragan/ekskutif/karyawan) melihat iklan yang sama, pesan yang sama. Demikian pula ketika kita membaca portal Detik.com. Pengalaman yang sama kita rasakan ketika melintas di Jalan Sudirman atau jalan-jalan besar Jakarta yang dipenuhi billboard. Kita melihat pesan yang sama, tak peduli kita siapa.
Itulah mass marketing. Semuanya ditembak dengan pesan sama.
Ciri lain mass marketing adalah, iklan itu bicara sendiri, tak mengindahkan suara konsumen. Iklan itu suara perusahaan. Suara merek. Jika ada iklan yang berbicara konsumennya, itu testimonial. Itu pun yang mendukung suara perusahaan/merek.
Di era media sosial, ikan seperti ini sudah kian diabaikan. Perannya terhadap konsumen semakin tipis. Hasil riset Michael Hulme of the Institute for Advanced Studies di Lancaster University menunjukkan, 95% responden tidak percaya iklan. Separoh lebih responden percaya bahwa perusahaan hanya mau menjual produk ke konsumen, dan tak peduli apakah produk itu tepat buat mereka.
Sebaliknya, justru kepercayaan konsumen kepada sesama konsumen, terutama teman di jejaring sosial, kian meningkat. Riset yang dilakukan AC Nielsen 2009 menunjukkan, rekomendasi teman dan kerabat masih menduduki posisi tertinggi sebagai sumber terpercaya. Yang menarik di posisi kedua adalah: opini konsumen yang ditulis di online. Inilah yang muncul di blog, Twitter dan Facebook dan jejaring sosial lain. Peer recommendation kuncinya.
Nah, dengan perubahan yang luar biasa ini, pemimpin yang biasa melakukan mass marketing, memandang semua konsumen itu sama, hanya beda segmentasi, akan tergusur. Saat ini dibutuhkan pemimpin yang mendengarkan suara konsumen secara langsung. Bukan hanya mendengarkan suara biro iklan, konsultan PR dan sejenisnya. Dan suara konsumen itu bergeletakan, telanjang, di social media. Konsumen itu bicara apa saja mengenai produk yang mereka konsumsi di social media. Tinggal merekamnya, membacanya, menghayatinya, dan kemudian bertindak berdasarkan customer insight tersebut.

Pemimpin yang seperti itu akan mengantarkan perusahaan ke level yang lebih tinggi. Contoh legendaris adalah Dell Corporation, yang berhasil mengumpulkan 1,5 juta lebih konsumennya di Twitter dan menghasilkan sales sampai US$ 6 juta hanya dari Twitter.
Sayang, saat ini banyak pemimpin perusahaan, lembaga, dan pemerintah yang jauh dari media social. Masih banyak yang berparadigma mass marketing. Jika tidak segera berubah, mereka akan terlindas zaman.
Note:
tulisan saya ini dimuat di majalah Forum Manajemen Prasetya Mulya Vol XXV no 01, terbit Januari-Februari 2011
Author: "Nukman Luthfie"

No comments:

Post a Comment