Search This Blog

Saturday, October 29, 2011

Selalu dimulai dengan TUJUAN

Selalu dimulai dengan TUJUAN.
Kalau sudah runtut seperti di atas, baru masuk ke langkah taktis. Misalnya, untuk contoh di atas, bagaimana membangun webnya, bagaimana mempromosikannya, bagaimana menggunakan Facebooknya atau social media lain, bagaimana menggunakan email marketingnya, dan seterusnya.
be well,
Dwika



**"Nukman Luthfie"
Saya sering mendapat pertanyaan, bagaimana bisa sukses membuat situs web yang banyak dikunjungi dan bisa berjualan di online, baik oleh pebisnis online maupun para pelaku bisnis offline yang ingin ekspansi pasar melalui  dunia maya. Bahkan beberapa diantaranya berharap dapat sukses dengan biaya seminim mungkin, kalau perlu gratis. Belakangan ini, seiring dengan maraknya social media, saya juga sering mendapat pertanyaan, bagaimana cara cepat agar bisa berjualan lewat jejaring sosial seperti Facebook. Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Kenapa sulit? Karena yang ditanyakan adalah sesuatu yang taktis. Bagaimana membuat web yang bakal banyak dikunjungi pengguna Internet , itu taktis. Bagaimana menggunakan Facebook sebagai ajang jualan, itu taktis. Kita seringkali lupa, online itu hanya medium. Website perusahaan,  web site jualan barang, toko online, e-commerce, Facebook, Twitter dan lain sebagainya itu hanyalah sebuah media.

Banyak pengusaha baik kecil menengah maupun yang enterprise, terjebak pada pendekatan taktis. Mereka seolah lupa bahwa untuk sukses itu wajib melakukan pendekatan strategis, dengan cara berfikir strategis.
strategic-thinking
Apa bedanya taktis dan strategis? Yang taktis sudah saya contohkan di atas. Sedangkan yang strategis lebih esensial.  Saya berikan contoh yang menarik ketika berdiskusi dengan salah satu pengusaha kecil yang memproduksi sebuah produk yang tidak saya sebut di sini.  Ia sudah mendistribusikan produknya ke berbagai kota besar dan lumayan laku. Ia sudah membuat sebuah situs web dengan harga yang dianggapnya cukup mahal. Ia berharap akan banyak order dari pengguna Internet di berbagai belahan Nusantara. Ia berharap ada pembeli retail atau perorangan. Ia juga berusaha memanfaatkan Facebook untuk mempromosikan barangnya.

Ia mengeluhkan betapa kecilnya trafik ke situs webnya, yang otomatis juga memperkecil peluang mendapatkan pembeli perorangan di situsnya.
Untuk menggali di mana masalahnya, saya ajak ia diskusi, yang saya petikkan sebagian diantaranya di bawah ini.

Nukman: Apakah anda memproduksi sendiri produk itu?
Pengusaha: iya, betul, saya memang produsennya.
Nukman: Anda jual/distribusikan sendiri?
Pengusaha: Saya titipkan ke berbagai toko di kota-kota besar
Nukman: Laku?
Pengusaha: Alhamdulillah laku dan berkembang, sehingga karyawan saya lumayan banyak, tapi saya ingin lebih laku lagi, terutama lewat Internet.
Nukman: Barapa harga per item produknya?
Pengusaha: Rp 40 ribuan
Saya langsung terbayang, betapa repotnya mengurusi penjualan retail untuk produk yang semurah itu. Untuk mendapat omset Rp 4.000.000 sehari paling tidak ia harus menjual 100 item ke 100 pembeli, yang sepertinya agak sulit jika melalui Internet.
Nukman: Jadi anda berharap banyak orang membeli produk itu lewat Internet?
Pengusaha: Iya, betul. Bukankah sekarang eranya berjualan lewat Internet? Saya tidak mau ketinggalan tren ini.
Nukman: Baiklah. Seandainya ada pembeli online yang berasal dari sebuah kota, katakanlah Jogjakarta, dan di kota itu sebenarnya ada  toko yang menjual produk Anda, apakah pemilik toko itu tidak marah?
Pengusaha itu diam sejenak dan tidak menjawab.
Nukman: Bagaimana jika situs webnya bukan untuk jualan retail, tapi untuk memperluas jaringan, untuk mencari distributor baru? Dengan menjaring sebanyak mungkin distributor baru melalui online, diharapkan produk Anda semakin banyak tersebar ke berbagai wilayah.
Saya membayangkan, akan lebih mudah mencari pembeli grosir dalam jumlah banyak sekali beli, sehingga omset onlinenya bisa lumayan besar.
Pengusaha: ahaaaaa, jadi melalui web saya lebih banyak melayani distributor ya? Tidak perlu jualan ke retail ya?
Pengusaha itu bertanya sambil tersenyum cerah.
Pengusaha: dan selanjutnya saya tinggal melakukan promosi agar kossumen paham produk saya dan akhirnya berniat beli ke distributor atau toko-toko yang menjual produk saya tadi?
Saya mengangguk saja.

Dengan diskusi sederhana itu, pekerjaan rumahnya bukan bagaimana meningkatkan penjualan retail di Internet, tetapi bagaimana membangun jaringan yang lebih luas agar produknya tersebar di berbagai wilayah, sekaligus melakukan promosi online agar target audiencenya memahami produknya, kemudian mencari dan membelinya.
Itulah salah satu contoh berpikir secara strategis, yang selalu dimulai dengan pertanyaan sederhana:
1. Apa sih tujuan/objektif  (misalnya) masuk ke Internet?
2. Siapa target pasarnya?
3. Bagaimana perilaku online target pasarnya?
4. Bagaimana menjangkau target pasarnya?
5. Dan seterusnya.
Dengan berpikir strategis, langkah-langkah taktis dapat dilakukan dengan lebih terarah dan terukur, dan efisien.  Yang tadinya ingin berjualan retail, kini berubah menjadi berjualan grosir atau memperluas distribusi dengan skala penjualan yang lebih besar.

Diskusi strategis di atas hanyalah contoh. Kita bisa membuat contoh-contoh lain, yang selalu dimulai dengan apa TUJUANNYA.

Kalau sudah runtut seperti di atas, baru masuk ke langkah taktis. Misalnya, untuk contoh di atas, bagaimana membangun webnya, bagaimana mempromosikannya, bagaimana menggunakan Facebooknya atau social media lain, bagaimana menggunakan email marketingnya, dan seterusnya.
Author: "Nukman Luthfie"

No comments:

Post a Comment