be well,
Dwika - Managing Consultant
by: RHENALD KASALI
Benarkah para pemimpin atau eksekutif saat ini harus diterapi? Kalau ya, siapa therapist-nya? Pertanyaan seperti ini belakangan banyak muncul dari tokoh-tokoh penting, para CEO, dan pengusaha yang menghendaki usahanya sustainable. Saya tidak tahu persis apakah mereka yang memimpin negara ini pernah memikirkannya. Masalahnya sederhana saja, hubungan antarpemimpin belakangan ini cenderung memburuk. Entah mengapa sekarang ini banyak pemimpin yang cenderung membiarkan anak-anak buahnya bicara bebas semau hati. Katanya, inilah era kebebasan. Bebas berbicara. Pemimpin tidak boleh mengontrol terlalu banyak,apalagi menyetel atau memaksa. Anehnya, orang-orang yang sedang menikmati kebebasan ini justru senang mengontrol orang lain, mudah marah, dan cenderung provokatif seperti remaja yang kekanak-kanakan. Lihat saja anak-anak SMU yang menulis sesuka hati apa yang mereka pikir tentang kepala sekolahnya di media Facebook. Menurut media massa beberapa hari lalu,beberapa siswi yangmasihmudaitudikeluarkan dari sekolah karena menuduh kepala sekolahnya korupsi.Sewaktu diwawancara televisi,dengan polosnya mereka mengatakan, Namanya juga anak-anak,buat rame-ramesaja. Orang tua tidak terima karena anaknya dikeluarkan dari sekolah.Tetapi,keputusan sudah diambil. Selain enteng mulut yang menyulut kebencian, entah mengapa pula banyak pemimpin yang suka mengangkat orang sesuka hati.Orang-orang yang tidak capable terlihat di mana-mana. Aneh sekali perubahan cuaca di negeri ini.Mereka yang jujur, pintar, berani, dan mau bekerja justru banyak tidak dipakai. Sebaliknya, orang-orang yang asal duduk, banyak senyum, kurang bertenaga,justru banyak diberi kesempatan.Akibatnya tidak ada wibawa.Terkontaminasilah seluruh kepemimpinan yang bagus oleh hadirnya orang-orang yang buruk. Orang-orang yang demikian biasanya sudah beranggapan dirinya adalah pemimpin kala berhasil memegang surat keputusan (SK) yang berisi tentang pengangkatannya. Kata pakar leadershipJohn Maxwell, kalau seseorang memimpin hanya karena punya jabatan, itu sama dengan pejabat level satu.Anak-anak buah menurut karena diharuskan. Tak ada kepengaruhan sama sekali. Semua orang bekerja karena fear factor (rasa takut). Pemimpin yang menakutnakuti adalah pemimpin yang tak punya daya pengaruh.Apa yang harus direspeki dari pemimpin yang demikian? Anda tahu apa akibatnya? Organisasi yang diisi atau dihiasi para pemimpin level satu ini memicu konflik dan intrik. Orang saling menjelek-jelekkan satu sama lain hanya karena berebut SK,berebut kursi.Objective( tujuan) dari perkelahian itu adalah sekadar mengganti pejabat atau pemegang kursi. Tetapi,pertengkaran seperti ini bungkus luarnya seakan-akan heroik dan berani sekali. Pembersih Udara Bila otak butuh oksigen,oksigen membutuhkan saringansaringan pembersih udara. Udara yang kotor akan membuat otak lemah, lamban bekerja, mengecil, bahkan dapat membusuk. Dapatkah Anda bayangkan bila otak pemimpin Anda mengecil atau lamban bekerja? Maka seberapa pun cerdasnya otak akademis seseorang, kalau dibesarkan dalam udara yang kotor,kemungkinan besar output dari processor itu akan sia-sia. Itu sebabnya para CEO membutuhkan leadership therapy untuk memperbaiki kinerja organisasinya.Terapi ini mirip dengan memasang saringan udara pada mesin pendingin di ruangan Anda. Belakangan ini merek-merek terkenal bahkan memasang pembersih udara yang mampu membunuh kumankuman dan bakteri. Dan layaknya saringan udara di daerah yang kadar polusinya tinggi, ia harus semakin sering dibersihkan. Biasanya proses terapi ini dimulai dengan pengenalan cara berpikir masing-masing yang sangat mudah diukur. Kendati demikian, tentu saja diperlukan kematangan seorang therapist. Minggu lalu saya mencoba mengeluarkan sejumlah alat yang sudah lama saya pakai dan uji untuk menerapi sekelompok eksekutif pada sebuah perusahaan nasional. Sekilas tak ada masalah di antara mereka. Hubungan baik-baik saja,vertikal maupun horizontal. Tetapi, begitu proses terapi dimulai, satu persatu masalah mulai terdeteksi.Biasanya saya mulai dengan mengukur brain color masing-masing eksekutif karena dari sanalah benih-benih konflik mengakar.Manusia terlalu asyik dengan brain color-nya masing-masing dan beranggapan perbedaan cara pandang sebagai musuh. Perbedaan menimbulkan ketidaknyamanan. Dari brain color, saya pun mengukur belief masing-masing yang menghasilkan dua jenis cara berpikir yaitu positivedan negative.Hampir dapat dipastikan,belief negativeakan menarik believer-believer negative yang dimiliki orang-orang lain. Mereka bersekutu sehingga komunitas negative believer itu merasa pandangan dirinya tentang sesuatu hal adalah benar karena jumlah pengikut sesama negative believer itu menjadi cukup besar. Puncak dari terapi itu akan bermuara pada tingkat kebahagiaan. Seberapa cerdas dan kritisnya seseorang, bila cara berpikirnya sangat sinis dan negatif, dapat dipastikan orang ini merasa diperlakukan tidak adil, kurang diperhatikan, menjauh dari cinta, dan mengalami luka dalam kepercayaan. Mereka akan mengalami kesulitan menata diri dan orang lain. Tingkat kebahagiaan menjadi gangguan yang amat serius dan akan mengganggu rasa syukur dan optimisme seseorang. Tak banyak pemimpin atau eksekutif yang menyadari, di balik wajah-wajah manis yang sekilas tampak optimistis,mereka menyimpan kegalauan besar tentang hari esok. Optimisme menyangkut dua elemen sekaligus yang biasanya dipisahkan yaitu harapan-harapan bagus dan harapan-harapan buruk. Saya banyak menemukan kenyataan, orang-orang yang memiliki harapan-harapan bagus ternyata menyimpan segudang harapan-harapan buruk. Dan keduanya saling menghilangkan, membuat hasil yang dicapai manusia yang bekerja keras tidak sebagus harapan-harapan rasional seseorang. Para pemimpin dan eksekutif seperti ini tentu memerlukan jalan keluar. Mereka tidak dapat dilepas untuk memimpin perusahaan, apalagi negara. Memimpin sebelum saringan lengkap dengan filter pembunuh kuman dipasang di sisi pikiran adalah rawan dan merugikan.