Teknologi EVDO versus UMTS seperti Luna Maya cantik pesonanya tertebar hingga ke pojok kota. melawan Budi Handuk, komedian yang menjual tampang seadanya.
be well,
Dwika
Apa artinya lima tahun? Kalau pertanyaan ini disodorkan kepada Adolf Hitler, diktator Nazi itu mungkin akan menjawab dengan bersungut-sungut: “Itu hanya cukup untuk membikin satu buku!”
Itulah yang dia lakukan saat berteman dengan sepi di penjara Lansberg di dekat Munich, Jerman, pada 1923. Semangatnya tinggi. Tapi diktator yang batuknya saja bisa membuat anak buahnya membunuh 1.200 sandera, ternyata butuh empat setengah tahun untuk merampungkan bukunya. Judulnya panjang dan beringas: Empat Setengah Tahun Perjuangan Melawan Kebohongan, Kebodohan, dan Kepengecutan. Lima tahun yang beku.
Tapi coba berikan waktu lima tahun kepada Gordon E. Moore. Doktor eksentrik yang suka mengecat mobil dan bermain pesawat-pesawatan ini bisa melipatgandakan kecepatan komputer dua setengah kali lipat. Salah satu pendiri Intel Corp ini menemukan sesuatu yang amat penting di dunia komputer, hukum Moore. Hukum itu berbunyi, kecepatan komputer, kapasitas memori, jumlah transistor yang bisa dijejalkan dalam satu keping prosesor selalu meningkat dua kali lipat setiap dua tahun!
Bagi Moore, lima tahun adalah waktu yang cukup untuk mengubah sejarah. Komputer atau ponsel menjadi lebih cepat, lebih mini, dan–yang selalu ditunggu banyak orang–lebih murah. Kita patut berterima kasih kepada Mister Moore. Dunia terasa begitu sedap saat semua urusan teknologi patuh pada hukum yang ditulis pada 1965 tersebut.
Sayangnya, tak semua taat asas itu. Ada juga yang bandel. Pasar teknologi Internet supercepat, jaringan seluler CDMA EVDO (evolution data only) adalah contohnya. Lima tahun lalu, teknologi tersebut sudah mampir ke negeri ini. Tapi jumlah penggunanya sampai kini masih sedikit.
Pasar rupanya tak bisa didikte oleh hukum Moore. Ia mungkin lebih taat pada “hukum Hitler”.
Lima tahun lalu, iTempo menjajal teknologi ini, yang diperkenalkan oleh Mobile-8. Di dalam sedan hitam yang “wah” seharga Rp 880 juta, Internet mengalir kencang. Dari sebuah komputer genggam (PDA), iTempo bisa melihat video pemantau kemacetan lalu lintas Jakarta. Sedap, bukan?
Teknologi EVDO pada 2004 seperti Luna Maya. Cantik. Pesonanya tertebar hingga ke pojok kota. Secara teknologi dia jauh mengungguli rivalnya kala itu, GPRS atau Telkomnet Instant, yang lelet. Teknologi EVDO versus GPRS seperti Luna Maya melawan Budi Handuk, komedian yang menjual tampang seadanya.
Tapi seiring dengan waktu, pasar berkata lain. Pemasaran EVDO jeblok, sementara GPRS terus meroket.
Kini teknologi EVDO datang lagi. Dua operator jaringan CDMA, Smart dan Mobile-8, mengusung teknologi ini untuk melawan teknologi 3,5G, yang diusung oleh operator Telkomsel, Indosat, XL, Three, atau Axis.
Di atas kertas, kekuatan keduanya imbang, sama-sama bisa mencapai kecepatan 3,6 Megabit per detik. Yang membedakan cuma keseriusan para operator menjaga kualitas layanan.
Saat ini banyak orang frustrasi dengan leletnya koneksi 3,5G yang ditawarkan para operator jaringan GSM. Keluhan itu makin membuncit setelah para operator tersebut kebanjiran pelanggan. “Apa pun operatornya, tak ada yang benar-benar bisa diacungi jempol,” begitu komentar kawan saya.
Tapi apakah para pelanggan 3,5G mau berpindah ke EVDO, yang notabene masih sepi dan kencang aksesnya? Entahlah. Pasar tampaknya punya hukum sendiri. Mereka tak taat pada hukum Moore atau hukum Hitler.
No comments:
Post a Comment