be well,
Dwika - Managing Consultant
Sinis, Kritis, dan Tobat
by: Rhenald Kasali
Seorang guru mendekati saya sambil membawa halaman depan koran Sindo tertanggal 15 Juli 2010. Tentu terkejut karena di situ ada kolom saya yang berjudul Encouragement. “Saya seperti tertampar,” ujarnya. Dia meminta saya menuliskan sesuatu dan membubuhkan tanda tangan di koran itu. Saya masih belum mengerti.
Beberapa hari yang lalu dosen-dosen senior di UI juga mendatangi saya dan mereka bertanya apakah kolom itu ditujukan pada mereka. “Saya pikir apa Pak Rhenald tahu kejadian di kelas saya,” ujarnya. Saya katakan seadanya bahwa saya tidak tahu apa yang terjadi.
Di Surabaya seorang dosen mengangkat tangannya saat mendengar ucapan saya agar pendidik tidak men-“discourage” mahasiswa. Dalam pembekalan para pengajar kewirausahaan itu ia mengatakan. “Saya ini disebut mahasiswa sebagai dosen killer,” ujarnya. “Apa saya salah? Toh ada mahasiswa yang jadi,” katanya lagi.
Di fakultas hukum UI, setelah memberikan orasi berjudul “Dosen Harus Menulis,” seorang dosen muda menghampiri saya. “Saya membaca tulisan Encouragement itu dari mahasiswa saya di Belanda. Ia gagal lulus dengan cumlande karena saat melakukan tugas ilmiah ke negeri kincir angin itu, dosen yang mengasuh kelas yang ditinggalnya berang dan ia diberi nilai C untuk mata kuliah tersebut.” Saya katakan, ia harus bersyukur, berarti C itu mahkota di antara nilai-nilai A yang bertaburan di Transkript ijazahnya.
Hal serupa juga dialami seorang mahasiswa di Jogja yang harus mengulang mata kuliah yang sama sebanyak tiga kali karena mahasiswa itu memilih pergi ke Jakarta sehingga mengikuti sebuah lomba kewirausahaan (dan ia menang). Masih banyak cerita dan kejadian-kejadian lain yang saya dengar langsung dari banyak orang yang ingin berbagi pengalaman terkait tulisan itu. Saya juga heran mengapa tulisan itu di posting dibanyak milis dan didiskusikan sejumlah pihak. Tetapi belakangan saya menyadari, rupanya sudah cukup banyak orang yang menjadi korban, ulah dari orang-orang yang sok kuasa, guru yang salah kamar atau dosen yang salah karier, sok pinter, sehingga selalu menganggap dirinya yang paling benar dan orang lain selalu salah dan bodoh. Mereka bangga dianggap killer karena di kelas yang diasuhnya hanya satu atau dua orang yang bisa lulus. Selebihnya mendapat nilai D dan E.
Berdiri Sama Tinggi
Di hadapan rapat dosen untuk menyambut semester baru di MMUI saya membuat gambar sketsa orang di white board. “Inilah Bapak dan Ibu,” ujar saya. Di sebelahnya saya menggambar sketsa orang lain yang tingginya separuhnya. “Inilah anak didik kita. Mereka baru setinggi ini ilmunya, sedangkan bapak-ibu setinggi itu. Sudah hebat, buku-buku dan jurnal-jurnal yang dibaca sudah banyak sekali. Pengalamannya juga sudah tinggi,” sambung saya.
Lalu disebelahnya saya menggambar seseorang yang lebih tinggi, bahkan dua kali ketinggian bapak-ibu guru. “Nah ini mereka sepuluh tahun lagi. Mereka bisa lebih tinggi dari kita. Kalau ini terjadi, bapak ibu adalah guru yang berhasil. Itulah pentingnya encouragement,” lanjut saya.
Mengapa hal itu saya sampaikan? Karena saya mengerti banyak guru yang tidak sabar. Guru-guru yang tidak sabar hanya senang mengajar dan memuji-muji anak didiknya yang pintar-pintar. Yang sudah jadi dengan sendirinya. Yang tak perlu dibimbing sudah menemukan pintunya. Tak perlu diberi banyak mereka bisa mengerjakan. Tetapi berapa banyak anak didik seperti itu? Selain kurang pandai mungkin bagian terbesar orang yang datang ke sekolah juga punya banyak kesibukan, aktivitas atau ketertarikan yang berbeda.
Kita tidak sabar sehingga mudah marah, merasa anak didik tidak sederajat.
Sinis dan Kritis
Tentu saja dalam hidup ini bukan cuma guru atau dosen yang merasa paling berhak memberi nilai. Minggu-minggu ini panitia seleksi calon pengganti pimpinan KPK juga dinilai masyarakat. Setelah menjaring dua calon, kini giliran khalayak publik yang menilai. Selasa kemarin, di TVOne, Karni Ilyas memberi nilai 8 atas hasil kerja Pansel. Sebagian orang memberi nilai 9 dan seterusnya. Tetapi diantara politisi ada juga memberi nilai 6, atau enggan menilai. Bahkan ada satu suara sesumbar yang akan melawan Undang-Undang. Memang tugas politisi membuat Undang-Undang. Tetapi karena merasa begitu berkuasa, ia mengatakan akan menolak hasil kerja Pansel. Menolak bagi saya berarti, melawan UU yang mewajibkan mereka untuk memilih .
Bagi Pansel dinilai berapa pun tentu tak jadi masalah, sebab itulah hal paling maksimal yang dapat dikerjakan. Tetapi menarik melihat bagaimana orang-orang itu memberikan nilai. Mereka yang memberi nilai tinggi terlihat open mind, mudah senyum, dan kritis. Sementara yang memberi nilai di bawah 7 umumnya berasal dari kelompok yang sering kita lihat nyinyir, sinis, merasa selalu paling benar atas kasus apapun juga. Dahinya sering berkerut, bibirnya sinis dan kata-katanya, masyaAllah,.. selalu mengalir kata-kata negatif.
Saya menilai banyak “losser” yang tidak siap menerima kekalahan. Kalah bukan berarti mengalah, tetapi selalu mencoba menjegal apa saja. Seorang yang memberi kami nilai dibawah 7 diketahui pernah menegur sekretariat panitia seleksi saat teman-temannya tidak lolos salah satu tahapan seleksi. Mereka beberapa kali menelfon panitia dengan alasan, “Kami berhak menolak nantinya.” Besoknya ia mengancam lagi, “Tugas kami mengontrol, kalau kalian tidak kerja benar saya bisa menolak nantinya.” Esoknya mereka marah-marah saat mendengar teman-temannya tidak lolos.
Dalam pendidikan hal serupa sama saja. Tidak terima mahasiswa bimbingannya diberi nilai jelek oleh seorang penguji, seorang dosen bisa marah-marah terhadap mahasiswa bimbingan rivalnya tanpa alasan. Tak bisa berkelahi pada level yang sama, mereka mengumbar peluru pada sasaran-sasaran yang lemah. Padahal marah-marah bukanlah karakter seorang pendidik.
Orang sering lupa sinis itu tidak sama dengan kritis. Mereka yang negatif sering beragumentasi kita harus kritis. “Saya harus lakukan ini karena ini fundamental,” katanya sambil marah-marah. Perhatikanlah dari hidungnya keluar angin cukup kencang. Persis seekor banteng yang kehilangan akal dan mengamuk. Sinis itu negatif. Sedangkan kritis itu tidak berarti marah-marah. Kritis berarti tahu apa yang harus diperbaiki dan menunjukkan bagaimana caranya. Bukan menyembunyikan sesuatu untuk mempersulit orang lain.
Di bulan Ramadhan ini, saya kira inilah saatnya kita membersihkan diri, menjauhkan diri dari kedengkian, hati yang kotor, dan pikiran-pikiran yang penuh tipu muslihat. Seperti seorang guru yang di pembukaan tulisan ini mengatakan, “Saya seperti tertampar.” Atau, ”Apa Pak Rhenald tahu apa yang terjadi di kelas saya?” Orang-orang itu segera menyadari kekhilafannya dan mengatakan bertobat.
Ketika kolom Encouragement banyak diedarkan masyarakat, orang tua, guru, dan mahasiswa, terasa tak ada kebutuhan. Ada rasa yang kuat di kepala banyak orang bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil. Ada katup pelepas yang mereka rasakan ketika hal itu didiskusikan dan ada pengalaman bahwa cara-cara menghukum tanpa sebab sungguh tidak adil. Banyak orang memberi nilai buruk karena ingin membalas, meluapkan ketidaksenangan, menghancurkan, atau bahkan untuk menyombongkan diri bahwa dirinya hebat, super hebat.
Namun pada saat yang bersamaan, saya harus berani mengatakan semua itu bukanlah cara yang baik. Kita bisa menyampaikan kekurangan dengan memahami. Bukan defensif, apalagi ofensif (menyerang) tanpa memberi ruang bagi orang lain untuk bernafas. Saya hampir dapat pastikan, cara-cara yang sinis biasanya keluar dari suara kekalahan, orang-orang yang kalah. Perhatikanlah, kebahagiaan sulit berpihak pada mereka yang “discouragement.” Mereka selalu merasa paling hebat kendati sekolah mereka dulunya biasa-biasa saja, dan perhatikan pula, mereka tak bisa berkarya lebih dari kuasa yang dimilikinya.
Kita tak perlu tahu tipu muslihat apa yang telah dilakukan orang-perorangan untuk menunjukkan argumentasinya. Tetapi kita bisa merasakannya. Sungguh kasihan mereka yang sulit bertobat dan terbelenggu kekuasaan.
Selamat menyambut hari kemenangan.
**http://www.seputar-indonesia.com
by: Rhenald Kasali
Seorang guru mendekati saya sambil membawa halaman depan koran Sindo tertanggal 15 Juli 2010. Tentu terkejut karena di situ ada kolom saya yang berjudul Encouragement. “Saya seperti tertampar,” ujarnya. Dia meminta saya menuliskan sesuatu dan membubuhkan tanda tangan di koran itu. Saya masih belum mengerti.
Beberapa hari yang lalu dosen-dosen senior di UI juga mendatangi saya dan mereka bertanya apakah kolom itu ditujukan pada mereka. “Saya pikir apa Pak Rhenald tahu kejadian di kelas saya,” ujarnya. Saya katakan seadanya bahwa saya tidak tahu apa yang terjadi.
Di Surabaya seorang dosen mengangkat tangannya saat mendengar ucapan saya agar pendidik tidak men-“discourage” mahasiswa. Dalam pembekalan para pengajar kewirausahaan itu ia mengatakan. “Saya ini disebut mahasiswa sebagai dosen killer,” ujarnya. “Apa saya salah? Toh ada mahasiswa yang jadi,” katanya lagi.
Di fakultas hukum UI, setelah memberikan orasi berjudul “Dosen Harus Menulis,” seorang dosen muda menghampiri saya. “Saya membaca tulisan Encouragement itu dari mahasiswa saya di Belanda. Ia gagal lulus dengan cumlande karena saat melakukan tugas ilmiah ke negeri kincir angin itu, dosen yang mengasuh kelas yang ditinggalnya berang dan ia diberi nilai C untuk mata kuliah tersebut.” Saya katakan, ia harus bersyukur, berarti C itu mahkota di antara nilai-nilai A yang bertaburan di Transkript ijazahnya.
Hal serupa juga dialami seorang mahasiswa di Jogja yang harus mengulang mata kuliah yang sama sebanyak tiga kali karena mahasiswa itu memilih pergi ke Jakarta sehingga mengikuti sebuah lomba kewirausahaan (dan ia menang). Masih banyak cerita dan kejadian-kejadian lain yang saya dengar langsung dari banyak orang yang ingin berbagi pengalaman terkait tulisan itu. Saya juga heran mengapa tulisan itu di posting dibanyak milis dan didiskusikan sejumlah pihak. Tetapi belakangan saya menyadari, rupanya sudah cukup banyak orang yang menjadi korban, ulah dari orang-orang yang sok kuasa, guru yang salah kamar atau dosen yang salah karier, sok pinter, sehingga selalu menganggap dirinya yang paling benar dan orang lain selalu salah dan bodoh. Mereka bangga dianggap killer karena di kelas yang diasuhnya hanya satu atau dua orang yang bisa lulus. Selebihnya mendapat nilai D dan E.
Berdiri Sama Tinggi
Di hadapan rapat dosen untuk menyambut semester baru di MMUI saya membuat gambar sketsa orang di white board. “Inilah Bapak dan Ibu,” ujar saya. Di sebelahnya saya menggambar sketsa orang lain yang tingginya separuhnya. “Inilah anak didik kita. Mereka baru setinggi ini ilmunya, sedangkan bapak-ibu setinggi itu. Sudah hebat, buku-buku dan jurnal-jurnal yang dibaca sudah banyak sekali. Pengalamannya juga sudah tinggi,” sambung saya.
Lalu disebelahnya saya menggambar seseorang yang lebih tinggi, bahkan dua kali ketinggian bapak-ibu guru. “Nah ini mereka sepuluh tahun lagi. Mereka bisa lebih tinggi dari kita. Kalau ini terjadi, bapak ibu adalah guru yang berhasil. Itulah pentingnya encouragement,” lanjut saya.
Mengapa hal itu saya sampaikan? Karena saya mengerti banyak guru yang tidak sabar. Guru-guru yang tidak sabar hanya senang mengajar dan memuji-muji anak didiknya yang pintar-pintar. Yang sudah jadi dengan sendirinya. Yang tak perlu dibimbing sudah menemukan pintunya. Tak perlu diberi banyak mereka bisa mengerjakan. Tetapi berapa banyak anak didik seperti itu? Selain kurang pandai mungkin bagian terbesar orang yang datang ke sekolah juga punya banyak kesibukan, aktivitas atau ketertarikan yang berbeda.
Kita tidak sabar sehingga mudah marah, merasa anak didik tidak sederajat.
Sinis dan Kritis
Tentu saja dalam hidup ini bukan cuma guru atau dosen yang merasa paling berhak memberi nilai. Minggu-minggu ini panitia seleksi calon pengganti pimpinan KPK juga dinilai masyarakat. Setelah menjaring dua calon, kini giliran khalayak publik yang menilai. Selasa kemarin, di TVOne, Karni Ilyas memberi nilai 8 atas hasil kerja Pansel. Sebagian orang memberi nilai 9 dan seterusnya. Tetapi diantara politisi ada juga memberi nilai 6, atau enggan menilai. Bahkan ada satu suara sesumbar yang akan melawan Undang-Undang. Memang tugas politisi membuat Undang-Undang. Tetapi karena merasa begitu berkuasa, ia mengatakan akan menolak hasil kerja Pansel. Menolak bagi saya berarti, melawan UU yang mewajibkan mereka untuk memilih .
Bagi Pansel dinilai berapa pun tentu tak jadi masalah, sebab itulah hal paling maksimal yang dapat dikerjakan. Tetapi menarik melihat bagaimana orang-orang itu memberikan nilai. Mereka yang memberi nilai tinggi terlihat open mind, mudah senyum, dan kritis. Sementara yang memberi nilai di bawah 7 umumnya berasal dari kelompok yang sering kita lihat nyinyir, sinis, merasa selalu paling benar atas kasus apapun juga. Dahinya sering berkerut, bibirnya sinis dan kata-katanya, masyaAllah,.. selalu mengalir kata-kata negatif.
Saya menilai banyak “losser” yang tidak siap menerima kekalahan. Kalah bukan berarti mengalah, tetapi selalu mencoba menjegal apa saja. Seorang yang memberi kami nilai dibawah 7 diketahui pernah menegur sekretariat panitia seleksi saat teman-temannya tidak lolos salah satu tahapan seleksi. Mereka beberapa kali menelfon panitia dengan alasan, “Kami berhak menolak nantinya.” Besoknya ia mengancam lagi, “Tugas kami mengontrol, kalau kalian tidak kerja benar saya bisa menolak nantinya.” Esoknya mereka marah-marah saat mendengar teman-temannya tidak lolos.
Dalam pendidikan hal serupa sama saja. Tidak terima mahasiswa bimbingannya diberi nilai jelek oleh seorang penguji, seorang dosen bisa marah-marah terhadap mahasiswa bimbingan rivalnya tanpa alasan. Tak bisa berkelahi pada level yang sama, mereka mengumbar peluru pada sasaran-sasaran yang lemah. Padahal marah-marah bukanlah karakter seorang pendidik.
Orang sering lupa sinis itu tidak sama dengan kritis. Mereka yang negatif sering beragumentasi kita harus kritis. “Saya harus lakukan ini karena ini fundamental,” katanya sambil marah-marah. Perhatikanlah dari hidungnya keluar angin cukup kencang. Persis seekor banteng yang kehilangan akal dan mengamuk. Sinis itu negatif. Sedangkan kritis itu tidak berarti marah-marah. Kritis berarti tahu apa yang harus diperbaiki dan menunjukkan bagaimana caranya. Bukan menyembunyikan sesuatu untuk mempersulit orang lain.
Di bulan Ramadhan ini, saya kira inilah saatnya kita membersihkan diri, menjauhkan diri dari kedengkian, hati yang kotor, dan pikiran-pikiran yang penuh tipu muslihat. Seperti seorang guru yang di pembukaan tulisan ini mengatakan, “Saya seperti tertampar.” Atau, ”Apa Pak Rhenald tahu apa yang terjadi di kelas saya?” Orang-orang itu segera menyadari kekhilafannya dan mengatakan bertobat.
Ketika kolom Encouragement banyak diedarkan masyarakat, orang tua, guru, dan mahasiswa, terasa tak ada kebutuhan. Ada rasa yang kuat di kepala banyak orang bahwa mereka telah diperlakukan tidak adil. Ada katup pelepas yang mereka rasakan ketika hal itu didiskusikan dan ada pengalaman bahwa cara-cara menghukum tanpa sebab sungguh tidak adil. Banyak orang memberi nilai buruk karena ingin membalas, meluapkan ketidaksenangan, menghancurkan, atau bahkan untuk menyombongkan diri bahwa dirinya hebat, super hebat.
Namun pada saat yang bersamaan, saya harus berani mengatakan semua itu bukanlah cara yang baik. Kita bisa menyampaikan kekurangan dengan memahami. Bukan defensif, apalagi ofensif (menyerang) tanpa memberi ruang bagi orang lain untuk bernafas. Saya hampir dapat pastikan, cara-cara yang sinis biasanya keluar dari suara kekalahan, orang-orang yang kalah. Perhatikanlah, kebahagiaan sulit berpihak pada mereka yang “discouragement.” Mereka selalu merasa paling hebat kendati sekolah mereka dulunya biasa-biasa saja, dan perhatikan pula, mereka tak bisa berkarya lebih dari kuasa yang dimilikinya.
Kita tak perlu tahu tipu muslihat apa yang telah dilakukan orang-perorangan untuk menunjukkan argumentasinya. Tetapi kita bisa merasakannya. Sungguh kasihan mereka yang sulit bertobat dan terbelenggu kekuasaan.
Selamat menyambut hari kemenangan.
**http://www.seputar-indonesia.com
No comments:
Post a Comment