Krisis ini momen yang tepat bagi penerbit berbenah diri. Lewat krisis ini juga akan terseleksi secara alami penerbit yang benar-benar serius dan piawai berbisnis dengan yang sekedar membuat buku saja.
Keuntungan bagi konsumen di sini asalkan para penikmat buku tetap mau menyisihkan uangnya demi membeli buku. Jangan berhenti membeli buku bagus dan jangan berhenti pula menerbitkan buku yang bagus!
be well,
Dwika - Managing Consultant
Bertandang ke kantor-kantor penerbit selama dua bulan terakhir ini bikin tak enak hati. Pasalnya, kemanapun saya datang ada satu kabar yang sama yang saya dengar disertai dengan penceritanya yang menghela nafas panjang.
Kabar itu sendiri mereka dapat dari manajemen toko buku yang menyampaikan sejak Februari lalu jumlah pengunjung toko buku terus menurun dan yang datang pun biasanya tak memborong buku seperti biasanya. Kala penerbit membandingkannya dengan pembukuan keuangan ternyata kabar itu sejalan dengan catatan omset mereka yang terus menurun.
Apakah ini akibat krisis ekonomi global?
Rhenald Kasali dalam bukunya Marketing in Crisis menjelaskan tentang downshifting, sebuah perilaku yang biasa muncul di saat resesi seperti sekarang ini. Konsumen kini tengah menurunkan standarnya sehingga yang tadinya makan di restoran mewah pindah ke restoran yang lebih murah atau bahkan ke resto cepat saji. Yang tadinya berani belanja buku kini lebih mengutamakan beli kebutuhan pokok.
Apa sepinya toko buku ini berarti Indonesia sudah mulai krisis? Belum tentu karena ada yang namanya quasi-krisis atau krisis semu. Jadi krisis sebelumnya belum terjadi namun orang sudah mulai bersikap seolah sedang di tengah pusaran krisis agar siap seandainya krisis benar-benar menerpa.
Lantas apa yang dilakukan penerbit?
Jangan khawatir, penerbit tak akan berhenti menawarkan buku baru, karena rata-rata hanya melancarkan jurus penghematan biaya produksi. Penerbit juga lebih selektif memilih judul yang akan diterbitkan.
Ini bisa dibilang menguntungkan buat pembaca karena buku yang masuk ke pasar mestinya buku-buku yang kualitasnya baik dan bukan buku asal terbit demi mengendarai sebuah gelombang tren yang sekarang ini memenuhi rak-rak toko buku. Perlambatan penerbitan buku baru juag berarti kesempatan bagus bagi penulis dan penerbit karena buku tak cepat terusir dari rak buku karena terdesak gelombang buku baru.
Cuma memang ini ada sisi buruknya juga karena penerbit akan bermain aman. Mereka akan menerbitkan yang pasti menjual dan ini akan mengurangi keberagaman genre buku yang ada di pasar. Buku yang mungkin berbobot dan menarik isinya namun diduga segmenya kelewat terbatas bakal tak jadi terbit.
Krisis memang mengerikan namun menurut para ahli imu sosial, krisis itu penting bagi sebuah sistem agar bertahan hidup dan berevolusi menjadi lebih maju. Masih menurut Rhenald, saat krisis melanda maka jurus pemasaran yang paling baik adalah yang cepat dan bisa diandalkan oleh konsumen, semakin mereka bisa diandalkan maka kian besar pula peluang selamat dari krisis.
Karena itu krisis ini momen yang tepat bagi penerbit berbenah diri. Lewat krisis ini juga akan terseleksi secara alami penerbit yang benar-benar serius dan piawai berbisnis dengan yang sekedar membuat buku saja.
Ada keuntungan bagi konsumen di sini asalkan para penikmat buku tetap mau menyisihkan uangnya demi membeli buku. Jangan berhenti membeli buku bagus dan jangan berhenti pula menerbitkan buku yang bagus!
No comments:
Post a Comment