Mendengarkan dengan empati merupakan ketrampilan yang semakin penting untuk dipelajari. Baik oleh karyawan, maupun manajer, eksekutif, dan pemilik saham.
be well,
Dwika - Managing Consultant
Begitu keluar dari ruang rapat, kita mungkin lupa akan satu-dua keputusan yang diambil dalam rapat itu. Sebagai staf, mungkin kita merasa bahwa tugas kita adalah mengikuti rapat dan mendengar apa yang dibicarakan atasan. Sebagai pimpinan (bagian, departemen, divisi, atau perusahaan), kita keluar dari ruang rapat besar mungkin juga sudah tak ingat apa yang dikeluhkan staf. Apa yang disampaikan bawahan masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.
Salah satu kemungkinan mengapa karyawan lupa ialah karena merasa dirinya tidak terlibat (engaged) di dalam persoalan-persoalan yang dihadapi perusahaan. Saat bekerja, ia merasa cukup bila sudah menyelesaikan apa yang menjadi tugasnya sesuai diskripsi pekerjaan. Ia tidak terdorong untuk memberi kontribusi lebih jauh, apa lagi memberi yang terbaik bagi perusahaan. Di dalam rapat, ia hanya “mendengar”, dan bukan “mendengarkan”.
Dengan “mendengar”, siapapun yang hadir dalam rapat akan menerima gelombang suara orang yang berbicara. Tapi, materi yang disampaikan tidak dicerna. Dengan “mendengarkan”, seseorang secara aktif menerima gelombang suara pembicara dan mencerna maknanya. Sikap seperti ini akan membuatnya tidak gampang lupa. Dan, yang mesti bersikap seperti ini bukan hanya bawahan, staf, tapi juga manajer dan eksekutif. Di ruang rapat maupun di luar ruang rapat.
Bagi banyak orang, tindakan mendengarkan secara aktif barangkali membosankan, walaupun banyak orang juga enggan berbicara dan menyampaikan pikirannya. Namun banyak ahli manajemen dan komunikasi yang meyakini bahwa inilah kunci untuk memahami orang lain. Dengan mendengarkan secara aktif, kita berusaha berempati pada yang berbicara, mencoba memahami apa yang dikatakan. Orang yang berbicara pun merasa lebih dihargai. Ada yang menyebut ini sebagai “mendengarkan dengan empati”.
Sebagai kunci untuk memahami orang lain, mendengarkan pandangan teman satu tim kerja menjadi penting. Kesalahpahaman dapat dikurangi. Masing-masing anggota tim akan mengerti kekurangan dan kekuatan masing-masing, untuk kemudian saling mengisi. Dari sinilah kerja sama tim mulai terbentuk. Dan bila kimiawi sesama anggota tim sudah melebur, kerja sama tim akan menjadi kekuatan yang hebat.
Kemampuan “mendengarkan” dengan empati menjadi kian krusial bila tim terdiri atas orang-orang yang berbeda latar belakang: entah suku (atau malah bangsa), pendidikan, atau pun pengalaman kerja. Keragaman orang di dalam satu tim bisa memperkaya sudut pandang dalam melihat persoalan. Namun di sisi lain, harus ada upaya yang lebih kuat untuk membangun kimiawi tim dan memulainya dengan membangun kemauan untuk mendengarkan. Sebab, latar belakang akan mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi.
Anggota tim yang terbiasa berbicara banyak mesti berusaha mengerem lidahnya. Anggota tim yang sering kali diam (tapi mungkin penuh uneg-uneg) lebih baik berusaha mengungkapkan pikirannya. Kalau saya tidak salah, perusahaan consumer goods Protect & Gamble mengembangkan program pelatihan yang disebut “Cultures at Work”. Dalam program ini, karyawan belajar perihal “high context cultures”, yakni budaya yang sangat verbal dan orang-orangnya berbicara sangat terbuka. Mereka juga mempelajari “low context cultures”, seperti yang ditemui di Asia. Tentu saja, stereotyping ini tidak sepenuhnya tepat, karena Asia pun beragam, tapi intinya perusahaan ingin mengajak karyawan dan manajer untuk menjadi pendengar yang peka, apa lagi bekerja di dalam perusahaan yang karyawannya multikultural.
Bagi siapapun yang bekerja bersama di dalam sebuah tim kecil maupun tim besar (skala perusahaan), mendengarkan dengan empati merupakan ketrampilan yang semakin penting untuk dipelajari. Baik oleh karyawan, maupun manajer, eksekutif, dan pemilik saham. **
No comments:
Post a Comment